Entah angin apa yang membawa saya sampai ke negeri Cina. Tapi satu hal yang pasti, hari itu saya menginjakan kaki di negeri tirai bambu.
Pudong International Airport, Shanghai
Pagi itu pesawat mendarat tepat pukul 07.05 waktu setempat. Perbedaan waktu dengan Indonesia adalah satu jam lebih cepat, artinya di Indonesia saat itu masih pukul 06.05 WIB. Pudong International Airport memang pantas disebut sebagai bandara kelas dunia. Arsitektur yang modern lengkap dengan karpet tebalnya, mengantarkan kita sampai ke gerbang pemeriksaan imigrasi. Tidak terlihat antrian panjang di sana. Sesampainya di depan loket petugas imigrasi terlihat sebuah alat survey kepuasan pelanggan modern, ada pilihan yang sangat mudah dimengerti. Dari kiri ke kanan ada pilihan tingkat kepuasan kita. Warna hijau dengan gambar smiley menandakan bahwa kita puas, gambar merah dengan gambar wajah cemberut menandakan bahwa kita tidak puas. Ada juga tombol pilihan khusus kecepatan pelayanan. Baru saja saya berpikir untuk menekan salah satu tombol, petugas imigrasi dengan ramah mengembalikan passport saya dan mempersilahkan saya melewati gerbang imigrasi. Sungguh cepat, sepertinya tidak sampai dua menit. Luar biasa.
Setibanya di luar bandara, seorang petugas hotel telah menjemput dengan memegang papan nama. Saya pun menyapanya, ”Hallo sir, that’s my name,” ujar saya disambut senyum ramah pria setengah baya itu. Kami pun bergegas menuju mobil dan mulai bergerak menuju hotel yang jaraknya cukup jauh. Saat saya memulai pembicaraan, ia pun menjawab ”Sorry,” sambil menggelengkan kepala dan menunjuk ke mulutnya. Dari bahasa tubuhnya saya mengerti bahwa ia tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Saya tidak menyangka bahwa ini awal dari sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga.
Lebih dari satu jam lamanya kami melaju dari bandara menuju hotel. Perkiraan kasar jaraknya sekitar 100 km. Tiba di hotel saya memilih untuk beristirahat. Lagipula tidak banyak yang bisa saya lakukan dengan keterbatasan bahasa. Ternyata di belahan dunia ini nilai TOEFL setinggi langit sekalipun tidak ada gunanya. Bahasa ”Tarzan” jauh lebih manjur.
Taxi dan kemacetan di kota Shanghai Waktu setempat menunjukkan pukul 12.00, sudah saatnya untuk mencari makan siang dan melihat kota Shanghai yang jaraknya sekitar 40 km dari hotel. Kesempatan ini sangat berharga, karena saya tidak punya waktu lagi selain siang hari ini. Saya pun menuju ke resepsionis hotel dengan harapan ada seseorang yang mengerti bahasa Inggris. Seorang petugas wanita muda dengan ramah menjawab pertanyaan saya dengan bahasa Inggris yang lumayan bisa dimengerti. Ia menuliskan alamat pusat perbelanjaan terkenal di kota Shanghai, Nanjing Road namanya. Ia menggunakan tulisan Cina yang saya tidak mengerti. Ia pun memanggil bell boy untuk menjelaskan maksud saya ke supir taxi. Dan singkat cerita, taxi kami pun melaju menuju tujuan.
Tak lama kendaraan melaju sopir taxi menanyakan alamat tujuan lagi dengan bahasa Cina. Dengan sedikit bingung saya pun menunjukkan tulisan resepsionis hotel yang kebetulan ditulis di brosur pariwisata Nanjing Road. Taxi pun kembali melesat dan tiba di depan sebuah gedung pertokoan. Fenshine Fashion and Accesories Plaza terpampang di atas papan merah ukuran raksasa. Dengan bahasa Tarzan ia menepuk pergelangan tangannya dan memegang jasnya sambil mengacungkan jempol. Oh, maksudnya disini tempat beli baju dan jam bagus dengan harga murah. Saya membayar taxi dan bergegas masuk ke gedung itu. Tidak banyak waktu yang saya miliki.
Fenshine, Nanjing Road, toko serba murahIsinya seperti Aldiron Plaza awal 1990an. Banyak toko-toko kecil ukuran 2x3 memadati tiga lantai gedung tersebut. Masing-masing toko dengan dua sampai tiga orang penjaga. Ada yang menjual pernik-pernik khas Cina, baju, tas, asesoris, jam, sepatu, ”Lole’ Lole’ my flen, buy my flen,” rayu mereka sambil menunjukan jam tangan Rolex kepada saya. Oh iya, mereka rata-rata bermasalah dengan huruf R makanya mereka menyebut Lole’ dan friend mereka lafalkan flen. Oke lah, saya coba melihat-lihat. Beberapa toko ternyata menyembunyikan dangangan jamnya di belakang. Saya diajak menyembunyi ke balik dinding tokonya yang ternyata menyimpang puluhan jam tangan kelas atas itu seperti Tag Hauer, Breitling, Rolex, dan banyak lagi. Sepintas mirip aslinya. Tapi begitu dipegang kita bisa merasakan barang ini palsu. Tawar menawar pun terjadi, harga yang ditawarkan cukup tinggi sekitar 850 Renminbi atau sekitar 1,1 juta rupiah dengan kurs Rp 1.300,- . Harga tertinggi yang mereka tawarkan sekitar 1.000 Renminbi atau 1,3 juta rupiah. Berkat info dari seorang teman, saya nekat menawarnya di angka 85 Renminbi. Mereka pun tertawa dan berkata, ”you are a good joker my friend.” Karena tidak ada kesepakatan, saya pun menyingkir.
Kamar Rahasia. Sampai di sebuah sudut pertokoan itu saya tertarik dengan tumpukan kerajinan tangan khas Cina. Tiba-tiba seorang pria setengah baya berbadan gempal menepuk pundak saya, “watch my flen, come with me.” Karena masih penasaran, saya pun mengikuti langkahnya memasuki sebuah toko pakaian anak-anak. Dalam hati saya bertanya dimana dia menyembunyikan jam dagangannya, karena tidak ada celah seperti di toko-toko yang lain. Ia pun mengetuk dinding yang penuh dengan baju-baju yang bergelantungan dan seperti adegan di film mata-mata, salah satu sisi tembok itu ternyata sebuah pintu setinggi satu meter yang terbuka menuju sebuah ruangan kecil. “Come my flen,” ujarnya setengah memaksa memegang tangan saya untuk masuk.
Astaga, ternyata dibalik pintu rahasia itu ada sebuah ruangan kecil ukuran 1x2 meter dengan lampu pijar lima watt dan dipenuhi dengan jam tangan palsu berbagai merek. Edan, seketika saya teringat sebuah adegan film perang Vietnam saat seorang serdadu melakukan transaksi dengan mata-mata di kamar rahasia di sebuah bar. Bulu kuduk saya berdiri, keringat mulai membasahi kepala dan sebagian wajah. Saya harus keluar dari sini.
Saya pun membalikan badan, namun pria tadi segera menutup pintu dan menghalangi niat saya sambil terus merayu mendagangkan jam tangannya. Di dalam ada seorang lelaki remaja Cina yang sudah menunggu dan dengan gencar menawarkan dagangannya. Ya Allah, saya terjebak sendirian di ruangan sempit dan pengap diapit dua orang Cina sementara yang satu masih memegangi lengan saya. Dan tidak ada satu pun kata yang saya mengerti dari pembicaraan mereka selain Lole’ my flen.
Saya memberanikan diri untuk mendorong si pria gempal dan menggapai gagang pintu rahasia itu. Kalau dia menyerang, saya akan patahkan batang hidungnya. Saya harus keluar walaupun darah juga harus ikut keluar.
Sial umpatku saat memegang gagang pintu itu. Pintunya terkunci. Mereka pun meraih tangan saya sambil berkata,”don’t woly my flen, buy watch, good watch, what’s youl plice my flen?” kata itu berulang-ulang mereka bicarakan dengan aksen Cina kental. Salah satu dari mereka sibuk membuka bungkusan, tas, dan peti kecil yang semuanya berisi jam tangan mahal.
Akal sehat saya berkata, berikan tawaran tergila yang pernah ada mungkin ini satu-satunya jalan keluar. Saya pun mengambil jam terbagus di situ dan memainkan gaya menawar kaki lima Sogo Jongkok Tanah Abang, 20 Renminbi untuk sebuah Tag Hauer Carrera. Mereka pun tertawa, “you al funny my flen. Come on, I give you 900. what’s youl best plice?” Sekarang saatnya jurus Malioboro, “I give you 25,” sambil menekan tombol di kalkulator. Mereka agak kesal dan memaksa, “Don’t be like that my flen, I give you 800.” Kami berdebat panjang, waktu terasa sangat lama. Suara mesin berdetak dari ratusan jam tangan membuat suasana semakin mencekam. Kini jurus keras ala Pasar Ular yang saya pakai,”30 Renminbi that’s it, take it or leave it! Now open the door!” ujar saya tegas. Mereka masih berusaha merayu dan salah satu dari mereka merogoh kantong mengambil sesuatu. Mata saya langsung menuju ke benda yang ia keluarkan. “Pisau” dalam hati saya. Alhamdulillah, ternyata ia meraih sebuah remote kecil yang sekilas bentuknya seperti pisau lipat. Ia menekan tombol, lampu hijau kecil menyala, klik, suara kunci pintu terbuka. Astaga, ternyata pintu ini menggunakan kunci canggih, saya perhatikan ada dua magnit sebesar jempol orang dewasa yang sejak tadi mengunci saya di dalam ruangan kecil itu. Dan semua beroperasi secara elektronik. Saat saya hendak keluar mereka masih saja berkata,”come on my flen, what’s youl last plice again my flen. Come again my flen.”
Saya berdiri sejenak di antara toko-toko menarik nafas, menenangkan diri, memeriksa dompet, passport, kamera, handphone. Alhamdulillah, semua aman. Saya pun melanjutkan petualangan belanja murah ala Shanghai dan mendapatkan beberapa barang dengan harga ekstrim murah. Salah satunya adalah Tag Heuer Carrera otomatis yang dibuka pada harga 900 Rmb bisa saya dapatkan dengan harga 130 Rmb atau sekitar 170 ribu rupiah. Lumayan.
Perut terasa melilit saat saya sadar jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Ternyata sejak mendarat tadi pagi, belum ada makanan yang masuk. Saya pun bergegas keluar mencari makanan cepat saji di sebuah restoran hamburger Paman Sam yang terkenal. Setelah perut kenyang, saya pun bergegas untuk pulang dan menghentikan taksi. Secarik kertas dengan nama hotel dan alamat lengkapnya yang sudah saya persiapkan saya serahkan kepada supir taksi. Sungguh menakjubkan, kertas saya dikembalikan dan ia bilang “No”. Taksi kedua, ketiga, keempat, kelima, dan keenam semua menjawab hal yang sama. Sangat menyebalkan. Apa mau mereka? umpatku.
Peta wisata: semua bahasa Cina Keluar dari sarang macan, masuk ke sarang ular. Saya kembali terjebak, kali ini di Nanjing Road. Putus asa, bingung, dan pusing campur aduk. Sementara tidak ada satupun orang yang mengerti bahasa Inggris selain penjaga hotel. Tidak ada pemandu wisata berbahasa Inggris yang banyak berkeliaran seperti di istana Hoffburg, Vienna. Tidak ada Tenaga Kerja Indonesia seperti di Malaysia. Tidak ada supir taxi tembakan seperti di terminal Baranangsiang Bogor. Tidak ada kawan-kawan tukang ojek seperti di Jalan Perwira, dan tidak ada polisi wisata seperti di silang Monas, Jakarta. Sejenak saya duduk dan berpikir, membuka tas, dan melihat ada amplop karton pembungkus kartu kamar hotel. Di amplop tersebut tertera nama dan alamat hotel dalam dua huruf latin dan Cina. Mungkin ini jawabannya.
Saya menghentikan taksi yang melintas dan dengan mantap duduk di kursi penumpang. Saya tunjukkan ampol kecil tadi dengan harapan bapak tua pengemudi taksi itu mengerti maksud saya. Ia mengenakan kacamata baca miliknya, mengerutkan dahinya, selanjutnya menekan tombol start di argo taksinya. Alhamdulillah, ia mengerti maksud saya dan taksi itu melesat menebus gelapnya Shanghai menuju Jiading District tempat hotel saya berada.
Raut wajah orang-orang Cina yang tidak akan saya lupakan. Dari wajah mereka terpancar sikap ramah ala asia, kaku ala blok timur, dan lugu ala wong ndeso. Sikap loyal, keteguhan, usaha yang gigih mereka sampaikan dan ajarkan melalui bahasa Tarzan selama berinteraksi dalam waktu singkat itu sangat berharga bagi saya.
Petualangan tiga jam di Nanjing Road bersama bangsa Cina ini memiliki catatan tersendiri. Mereka adalah orang-orang tangguh. Mereka adalah orang-orang yang mampu mempertahankan nilai luhur budaya bangsa tapi mereka juga yang mampu mendobrak pembatas dari sebuah negara yang tertutup menjadi negara yang terbuka dan membangun infrastruktur standar kelas dunia. Mereka telah berhasil mengubah citra negara miskin menjadi sebuah negara yang disegani.
Cina memang negeri yang luar biasa.