Rasanya belum impas terbayar balas dendam istirahat melepas lelah setelah penerbangan dari Jakarta ke Medan. Matahari pun belum mau beranjak mengintip dari balik bukit, tapi di Sabtu pagi itu deru mesin motor sudah menggema memecah keheningan pagi di kota Medan.
Honda Steed, Binter Merzy, Hyosung, Pulsar, Suzuki, dan berbagai jenis sepeda motor lainnya dijajarkan dan dipersiapkan. Sebuah perjalanan panjang tampaknya menanti kehadiran rombongan sepeda motor 3 generasi ini. "Motor boleh macem-macem, yang penting olinya produk Pertamina," tegas bro Heru Ketua KSPM si empunya motor.
Awalnya perjalanan ini hanya untuk mendapatkan sebuah artikel keindahan alam dilihat dari Patra Jasa Parapat. Namun untuk mempertajam pena dalam menggambarkan suasana, tidak ada salahnya petualangan baru ini diambil oleh tim Warta Pertamina.
Tim WP tidak tahu persis berapa jarak yang akan dilalui yang jelas kami ditemani brothers dari Klub Sepeda Motor Pertamina Medan. Tak disangka ikatan brotherhood memang mampu meruntuhkan dinding penghalang yang terberat sekalipun.
Kuntoro, fotografer WP, tampil santai dengan jaket tipis dan kamera SLR digantung di pundaknya. "Buat ambil gambar di jalan mas," ujarnya kalem. Di dalam benaknya, perjalanan ini hanya akan memakan waktu satu jam. Anda salah besar bung!
Jalur Brastagi
Dua jam lebih berlalu, rombongan singgah di Brastagi. Pemandangan luar biasa di sepanjang jalan tidak boleh dilewatkan. Tapi yang lebih penting adalah dokumentasi perjalanan. Standar untuk safety shot yang dibutuhkan adalah landmark seperti tugu selamat datang dan suasana alam merupakan standar operasi yang paling dasar tapi harus dilaksanakan.
Saat kami berpikir untuk menepi dikelokan tajam yang entah keberapa, sesosok babon besar yang menakutkan bertengger di pagar pengaman pembatas jalan mengamati kedatangan rombongan. Sontak kami membanting stang sepeda motor menjauh darinya. Edan dia ternyata tidak sendirian. Sekawanan babon lain memandang kami seakan kami adalah sarapan pagi mereka. Melihat taringnya yang panjang dan tajam, ditambah suasana hutan yang sedikit mencekam seolah mereka mengisyaratkan "Welcome to the survival of the fittest zone". Nyali ini mendadak ciut. Kami memilih mencari tempat yang lebih bersahabat. Kehilangan peluang gambar di satu lokasi masih lebih baik daripada kehilangan kamera dan nyawa. Toh, masih banyak alternatif lokasi lain yang tak kalah menarik di sini.
Sebuah gapura selamat datang di Deli Serdang menjadi titik pertama safety shot kami.
"Masih jauh mas?" tanya fotografer andalan kami di sela istirahat di sebuah warung jagung bakar. Hanya senyum yang bisa saya berikan untuknya. Senyum yang berarti lebih dari seratusan km lagi jarak tempuh kita.
AG Sibayak
Dalam perjalanan tim WP dan brother KSPM merapat ke kantor Area Geothermal Sibayak untuk bersilaturahmi dengan saudara Pertamina yang berada di daerah operasi. Pertemuan singkat yang berkesan untuk melepas rindu dengan kawan lama.
Satu persatu mesin dihidupkan. Handle gas sepeda motor mulai dimainkan. Gas pol menuju Parapat!
Air Terjun Sipiso-Piso
Tak terasa enam jam telah berlalu saat sebuah persimpangan dengan tanda penunjuk arah Air Terjun Sipiso-piso tampak di depan mata. "Mau mampir?" tanya bro Heru kepada kami. "Boleh juga," jawab kami sambil mengarah ke kawasan wisata tersebut.
Membayar beberapa ribu rupiah untuk parkir dan retribusi masuk daerah wisata tak seberapa dibandingkan dengan keindahan alam yang ada di depan mata. Awalnya mata kami hanya melihat air terjun itu, sampai kami menyadari bahwa air terjun itu mengalir menuju Danau Toba. Subhanallah... Luar biasa indahnya. Untuk para penggila foto panorama alam, pemandangan ini tidak bisa dilewatkan begitu saja. Banyak frame kami habiskan untuk lukisan alam ini sambil di temani angin sejuk yang menghapus rasa letih setelah enam jam menunggang kuda besi.
Kalau bukan karena tujuan tugas ke Parapat, kami pasti akan menghabiskan lebih banyak waktu di tempat ini.
The Highland
Hujan deras menghadang rombongan sekitar dua jam sebelum masuk Parapat. Inilah petualangan, hujan dan panas menjadi bagian dari perjalanan.
Hawa dingin menusuk. Kami pun menepi. Di ketinggian, seorang kawan berbisik, "Itu Tanjung Unta," katanya. Untung saja kami sempat browsing mencari info wisata di sekitar Danau Toba. Tanjung Unta adalah salah satunya. Mudah ditebak, nama itu dipilih karena bentuknya seperti punuk unta.
Menembus dinginnya dataran tinggi di sekitar Danau Toba bukan perkara mudah apalagi jika mengendarai kuda besi. Perut yang mulai berontak minta diisi, baju basah melekat di tubuh, ngantuk dan lelah yang menggelayuti mata, membuat perjalanan ini semakin lengkap. Tapi kalau diingat keindahan alam yang kami dapatkan, kesengsaraan itu semua tak ada artinya.
Lebih dari 200 kilometer telah kami tempuh melalui jalur ini sampai kami menemukan "Patra Jasa Parapat belok kanan," kata papan besar di kanan jalan. Inilah tujuan utama kami.
Selasa, 22 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar