Selasa, 22 Juli 2008

ENDURO 4T TOURING: TERUJI

Siapa yang tidak mengenal kondisi jalan di Subang menuju Tangkuban Perahu. Seorang teman mengatakan bahwa, “di situ tempatnya mobil ngeden alias enggak kuat menanjak. Apalagi motor. Hati-hati aja, bro.” Diakui, perjalanan itu menguras tenaga dan konsentrasi. Pasalnya, jalan yang menanjak itu sangat tinggi dan panjang. Apalagi peserta touring Enduro 4T Tangkuban Perahu Tour 2006 harus berjalan dalam formasi dan kecepatannya tidak lebih dari 60 km per jam. Ini memang rute yang cocok untuk menguji keandalan mesin. Dan di sini Enduro 4T diuji oleh seluruh anggota PMC. Dalam kondisi jalan seperti itu, mesin sepeda motor tetap stabil. Dan yang paling utama, kami semua terbebas dari slip kopling. Padahal untuk beberapa jenis sepeda motor, kondisi jalan seperti ini rawan terjadi slip kopling.

Rombongan pun tiba di depan gerbang Tangkuban Perahu. Sejenak teringat ucapan seorang kawan, “waktu saya bawa motor ke atas, jalannya menanjak, tinggi, dan panjang. Motor rasanya seperti ditarik dari belakang alias susah naik.” Sempat merinding juga sambil bertanya di dalam hati, “bisa naik gak ya?”

Jalan yang kami pilih untuk menuju kawah Tangkuban Perahu ternyata kondisinya kurang bersahabat. Jalan menanjak dan berlubang. Wah kalau begini ceritanya, motor bisa mati di tengah jalan, pikir kami. Tapi mendadak pikiran itu hilang saat kami mencoba memacu gas mendaki jalan terjal itu. Jalan mendaki, rusak, dan berliku pun dilewati dengan sukses oleh rombongan Pertamina Motor Club. Sekali lagi, Enduro 4T terbukti ketangguhannya.

Tips seputar touring:

  • Persiapkan kendaraan dan alat keselamatan anda dan pastikan semuanya dalam kondisi prima.
  • Perhatikan surat-surat kendaraan dan izin jalan dari kepolisian. Dan patuhi peraturan lalu lintas yang berlaku.
  • Untuk kondisi di Indonesia, bikers tentunya membutuhkan pelumas yang telah teruji dan sesuai dengan karakteristik alam Indonesia. Makanya disarankan untuk mencari pelumas yang memiliki kekentalan yang sangat stabil pada temperatur rendah dan tinggi.
    Selain itu, oli juga berpengaruh terhadap kinerja kopling. Jangan sampai lagi enak mengendarai sepeda motor kesayangan waktu touring tiba-tiba koplingnya slip. Ini yang paling nyebelin. Makanya, oli yang diperlukan bikers harus menjamin anti slip kopling. Enduro 4T teruji.
  • Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bikers butuh pelumas yang tidak mudah teroksidasi dan terdegradasi oleh radiasi panas mesin.
  • Lebih jauh lagi, bro semua perlu pelumas yangf mampu menjaga kebersihan mesin dari korosi dan keausan dan mampu meningkatkan akselerasi prima. Jadi besutan bro semua bisa meluncur halus dan semua komponen motor utamanya kopling dan rangkaian gear transmisi jauh lebih awet dan tahan lama. Selamat mencoba.

Freedom: Destination is Nothing, Journey is Everything

"Ya Allah janganlah Kau turunkan hujan dan selamatkan kami dari semua mara bahaya", doaku sesaat sebelum menyalakan sepeda motor dan berangkat menembus udara malam menuju Anyer.

Touring ke luar kota menggunakan sepeda motor bukanlah hal yang baru bagi para bikers terutama di saat liburan atau akhir pekan. Sayup terdengar Redemption Song Bob Marley dari salah satu scooter peserta mempertegas nuansa kebebasan di kalangan bikers.
Kalender akhir pekan pertama April 2007 menarik perhatian para bikers untuk melakukan touring tentu karena ada tanggal merah di situ. Kali ini PMC didukung oleh Pelumas Pertamina menggelar touring Enduro 4T Racing Anyer Tour 2007. Pesertanya tidak tanggung-tanggung, mencapai lebih dari 100 motor. Touring dilepas oleh Manajer Retail Marketing Pelumas Hasto Wibowo dari kantor pelumas di Simpruk, Jakarta.

Jalan malam bagi kelompok bikers dengan jumlah sedikit memang mengasyikan karena cuaca tidak panas dan relatif lancar. Situasi menjadi menegangkan bila jumlah motor lebih dari 30 buah apalagi mencapai lebih dari 100 sepeda motor. Tingkat risiko sangat tinggi. Aba-aba road captain tidak terlihat, banyaknya lobang di jalan dan yang paling penting kita harus pandai menjaga jarak dengan motor didepannya. Kondisi ini bertambah kesulitannya bila rasa kantuk menyerang. Sering terjadi jarak antar motor terlalu dekat sehingga berisiko terjadi tabrakan beruntun dan motor dapat saling berjatuhan. Untuk menyikapi hal ini, keandalan pengendara dan ketangguhan sepeda motor menjadi faktor utama yang harus diperhatikan.

Untuk sepeda motor, terutama mesinnya, para bikers peserta touring menggunakan pelumas Enduro 4T Racing. Otomatis keandalannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Anto, salah satu peserta, mengatakan bahwa dalam turing ini Enduro 4T Racing bagus. ”Tidak slip kopling, respon enak dan cepat, bahan bakar irit, tidak ada kendala di mesin, dan untuk mesing suaranya halus,” ujarnya. Ia mengakui bahwa dirinya memang mengharapkan Pertamina memproduksi oli dengan SAE 10W 40 karena ia biasanya pakai Prima XP atau Fastron. ”Kalau sekarang ada Enduro 4T 10W 40 saya akan pakai,” tegasnya mantap.

Dari beberapa kelompok motorist yang bergabung dengan rombongan PMC (Pertamina Motor Club) tampak sebuah 'gang' yang menamakan SOC (scooter owner club) atau lebih dikenal dengan sebutan Vespa Balaraja.

Kelompok ini mendesain Vespanya dengan beraneka bentuk ada yang memiliki side car berwarna loreng, Vespa dengan panjang mencapai lebih dari 2 meter, tidak dicat sehingga tampak sangat 'ugly'. Tidak pernah terbayang bahwa ada festival motor terjelek tiap tahunnya. Unik, sebuah motor yg dilengkapi dengan tape bak motor Harley tipe Road King. sesuai dengan bentuk motornya lagu2 "Song of Freedom" dari Bob Marley terdengar nyaring dari Vespa butut.

"Mas mohon maaf saya terpaksa mohon pamit karena akan menuju Palembang siang ini", demikian pamit pak Unang kepada kami. "Palembang ???? naik motor ini???", decak kagum penulis. Bagi kelompok ini memang penganut "destination is nothing, journey is everything".
Kota Lama Terlupakan

Perjalanan pulang tidak kalah serunya dibandingkan dengan perjalanan waktu berangkat menuju Anyer. Perjalanan kali ini meninggalkan banyak kesan bagi kami. Sejak dimulainya penggunaan jalan tol Jakarta Merak maka banyak kota yang tidak pernah kita singgahi bila kita akan bersantai di pantai Carita. Kota-kota tersebut pada jaman dulu terkenal karena macetnya. Simpul kemacetan terbentuk karena jalan ramai melewati pasar tumpah, terminal angkutan umum dan kadang juga stasiun kereta api. Kondisi jalan diperparah dengan lalu lalangnya truk besar dan container pengangkut barang.

Tigaraksa, Cikupa, dan Balaraja adalah kota-kota setelah kota Tangerang yang sarat dengan kemacetan. Aroma busuk dari pasar tradisional, debu beterbangan dan kemacetan mewarnai perjalanan di siang hari. Pada malam hari, suasana tidak begitu terasa hanya 'wangian' pasar tradisional masih tercium.

Kota- kota ini seakan manjadi kota tua yang terlupakan karena kita hanya kita baca pada papan petunjuk jalan berlatar belakang hijau di jalan tol. Namun bila kita mengendarai motor maka kita seakan kembali 'menemukan' kota terlupakan tersebut.

Anyer - Labuan
Warna biru laut, ombak putih, nyiur melambai yang memecah dipantai membuat perjalanan semakin indah menyenangkan. terlebih bila kita riding di pagi atau sore hari. Cahaya lembayung sore hari, udara pantai yang bersih yang melenakan. Pemandangan pantai memang tidak pernah membosankan.

Berbagai bentuk hotel dan villa mulai dari nuansa Bali, mediteranian, hingga bertemakan tradisional menghiasi kiri kanan jalan menuju Carita. Jalan sepi, mulus dan cukup lebar menambah kenyamanan bermotor ria sepanjang jalur ini.

Trayek Anyer Labuan memang merupakan rute yang paling favorit bagi para bikers. Alam ciptaan Illahi ini nampak tenang dan damai. Aroma laut yang kaya akan garam seakan membelai pori-pori tubuh. Biarkan helm kita terbuka agar wajah kita juga dibelai udara laut. Udara jernih lebih terasa melonggarkan pernafasan bila kita nikmati diatas sadel motor. Memang tidak salah ungkapan para bikers: "Suasana tampak indah dan berbeda bila dinikmati di atas sadel motor".

Labuan - Rangkas
Pemandangan pantai yang indah berubah menjadi alam dataran rendah perbukitan yang didominasi oleh kehadiran sawah menguning setelah melewati kota Labuan menuju Rangkasbitung. Trayek ini cukup bagus untuk dilewati karena jalan cukup lebar, berbukit, berkelok dan tidak terlalu ramai. sangat berbeda situasinya dibandingkan trayek Tangerang - Serang yang berdebu.

Walaupun jalur ini boleh dibilang mulus namun lagi-lagi harus waspada karena lobang jalanan kadang menjebak bagi para motorist. Labuan Rangkasbitung berjarak kurang lebih 58 Km. Bagi rombongan besar maka kecepatan disarankan tidak lebih dari 60 km/jam.

Rangkasbitung - Bogor
Perjalanan dari Anyer kembali ke Jakarta dimulai pukul 13.30 dengan memilih jalur tengah yaitu Carita, Labuan, Rangkasbitung, Bogor dan kembali ke Jakarta via Parung. Lepas kota Rangkasbitung sekitar pukul 5.00 sore hari. Mendung menggantung tetap membayangi perjalanan kali ini.

Jalanan tampak sepi dan mulai memasuki perkebunan kelapa sawit. Hanya rombongan PMC saja yang melewati wilayah pegunungan ini. Hujan gerimis masih turun sehingga membatasi jarak pandang. Jalan yang tampak mulus namun selalu menyediakan lobang dalam bagi yang tdk waspada.

Langit berwarna lembayung mulai menjadi lebih gelap dan gelap. Tampak bayangan pegunungan sekilas tersinari sisa cahaya mentari. Suasana tampak hening dan sedikit mencekam.

"Jalanan baru saja selesai diaspal, warnanya merah", demikian komentar Boim menceritakan pengalamannya. ini hanyalah sebuah joke karena sisa tanah merah melapisi aspal. Tanah merah ditambah hujan membuat perjalanan sangat berbahaya. "Ya Allah janganlah Kau turunkan hujan dan selamatkan kami dari semua mara bahaya", doaku. Bagi penulis kondisi ini bak jalan di lantai licin yang bersabun, sangat berbahaya. Motor sportster yang mempunyai berat hampir 200 kg terasa tidak stabil dan beberapa kali bergeser ketika melintasi tanah becek. kondisi ini diperparah kondisi rem belakang yang tidak berfungsi sejak lepas kota Labuan. bahkan sempat terseret ketika rem disc bagian belakang terlepas dari posisinya dan terseret di jalanan.
Sekilas masih terbaca jarak tempuh melalui patok di pinggir jalan 98 km lagi menuju Bogor. Patok demi patok kadang terbaca 74, 71, 60 km dan akhirnya patok-patok tersebut tidak terbaca lagi karena gelap menyelimuti perjalanan.

Di tengah hutan tersebut terlihat cahaya lampu kuning yang bearti lampu sebuah kota. penulis berharap inilah kota Jasinga tempat rombongan akan beristirahat. Ternyata setelah dekat lampu kuning hanya beberapa buah dan perjalanan baru mencapai kota kecil Cipanas. Setelah itu kembali memasuki wilayah hutan gelap lagi. Menjelang waktu Isya kembali terlihat cahaya kuning dari balik hutan. dan ternyata benar rombongan telah memasuki kota Jasinga. sebuah kota kecil di barat Bogor. Dari patok arah pinggir jalan, jarak menuju kota Bogor 43 km. walaupun sedikit mencekam, rombongan PMC beberapa kali berpapasan dengan kelompok motor yg akan menuju Rangkasbitung.

Perjalanan sangat berkesan. Sekali lagi "destination is nothing, journey is everything".

LAKE TOBA FROM ABOVE: QUEST TO PARAPAT

Rasanya belum impas terbayar balas dendam istirahat melepas lelah setelah penerbangan dari Jakarta ke Medan. Matahari pun belum mau beranjak mengintip dari balik bukit, tapi di Sabtu pagi itu deru mesin motor sudah menggema memecah keheningan pagi di kota Medan.

Honda Steed, Binter Merzy, Hyosung, Pulsar, Suzuki, dan berbagai jenis sepeda motor lainnya dijajarkan dan dipersiapkan. Sebuah perjalanan panjang tampaknya menanti kehadiran rombongan sepeda motor 3 generasi ini. "Motor boleh macem-macem, yang penting olinya produk Pertamina," tegas bro Heru Ketua KSPM si empunya motor.

Awalnya perjalanan ini hanya untuk mendapatkan sebuah artikel keindahan alam dilihat dari Patra Jasa Parapat. Namun untuk mempertajam pena dalam menggambarkan suasana, tidak ada salahnya petualangan baru ini diambil oleh tim Warta Pertamina.

Tim WP tidak tahu persis berapa jarak yang akan dilalui yang jelas kami ditemani brothers dari Klub Sepeda Motor Pertamina Medan. Tak disangka ikatan brotherhood memang mampu meruntuhkan dinding penghalang yang terberat sekalipun.

Kuntoro, fotografer WP, tampil santai dengan jaket tipis dan kamera SLR digantung di pundaknya. "Buat ambil gambar di jalan mas," ujarnya kalem. Di dalam benaknya, perjalanan ini hanya akan memakan waktu satu jam. Anda salah besar bung!

Jalur Brastagi
Dua jam lebih berlalu, rombongan singgah di Brastagi. Pemandangan luar biasa di sepanjang jalan tidak boleh dilewatkan. Tapi yang lebih penting adalah dokumentasi perjalanan. Standar untuk safety shot yang dibutuhkan adalah landmark seperti tugu selamat datang dan suasana alam merupakan standar operasi yang paling dasar tapi harus dilaksanakan.

Saat kami berpikir untuk menepi dikelokan tajam yang entah keberapa, sesosok babon besar yang menakutkan bertengger di pagar pengaman pembatas jalan mengamati kedatangan rombongan. Sontak kami membanting stang sepeda motor menjauh darinya. Edan dia ternyata tidak sendirian. Sekawanan babon lain memandang kami seakan kami adalah sarapan pagi mereka. Melihat taringnya yang panjang dan tajam, ditambah suasana hutan yang sedikit mencekam seolah mereka mengisyaratkan "Welcome to the survival of the fittest zone". Nyali ini mendadak ciut. Kami memilih mencari tempat yang lebih bersahabat. Kehilangan peluang gambar di satu lokasi masih lebih baik daripada kehilangan kamera dan nyawa. Toh, masih banyak alternatif lokasi lain yang tak kalah menarik di sini.

Sebuah gapura selamat datang di Deli Serdang menjadi titik pertama safety shot kami.

"Masih jauh mas?" tanya fotografer andalan kami di sela istirahat di sebuah warung jagung bakar. Hanya senyum yang bisa saya berikan untuknya. Senyum yang berarti lebih dari seratusan km lagi jarak tempuh kita.

AG Sibayak
Dalam perjalanan tim WP dan brother KSPM merapat ke kantor Area Geothermal Sibayak untuk bersilaturahmi dengan saudara Pertamina yang berada di daerah operasi. Pertemuan singkat yang berkesan untuk melepas rindu dengan kawan lama.

Satu persatu mesin dihidupkan. Handle gas sepeda motor mulai dimainkan. Gas pol menuju Parapat!

Air Terjun Sipiso-Piso
Tak terasa enam jam telah berlalu saat sebuah persimpangan dengan tanda penunjuk arah Air Terjun Sipiso-piso tampak di depan mata. "Mau mampir?" tanya bro Heru kepada kami. "Boleh juga," jawab kami sambil mengarah ke kawasan wisata tersebut.

Membayar beberapa ribu rupiah untuk parkir dan retribusi masuk daerah wisata tak seberapa dibandingkan dengan keindahan alam yang ada di depan mata. Awalnya mata kami hanya melihat air terjun itu, sampai kami menyadari bahwa air terjun itu mengalir menuju Danau Toba. Subhanallah... Luar biasa indahnya. Untuk para penggila foto panorama alam, pemandangan ini tidak bisa dilewatkan begitu saja. Banyak frame kami habiskan untuk lukisan alam ini sambil di temani angin sejuk yang menghapus rasa letih setelah enam jam menunggang kuda besi.

Kalau bukan karena tujuan tugas ke Parapat, kami pasti akan menghabiskan lebih banyak waktu di tempat ini.

The Highland
Hujan deras menghadang rombongan sekitar dua jam sebelum masuk Parapat. Inilah petualangan, hujan dan panas menjadi bagian dari perjalanan.

Hawa dingin menusuk. Kami pun menepi. Di ketinggian, seorang kawan berbisik, "Itu Tanjung Unta," katanya. Untung saja kami sempat browsing mencari info wisata di sekitar Danau Toba. Tanjung Unta adalah salah satunya. Mudah ditebak, nama itu dipilih karena bentuknya seperti punuk unta.

Menembus dinginnya dataran tinggi di sekitar Danau Toba bukan perkara mudah apalagi jika mengendarai kuda besi. Perut yang mulai berontak minta diisi, baju basah melekat di tubuh, ngantuk dan lelah yang menggelayuti mata, membuat perjalanan ini semakin lengkap. Tapi kalau diingat keindahan alam yang kami dapatkan, kesengsaraan itu semua tak ada artinya.

Lebih dari 200 kilometer telah kami tempuh melalui jalur ini sampai kami menemukan "Patra Jasa Parapat belok kanan," kata papan besar di kanan jalan. Inilah tujuan utama kami.

Senin, 26 Mei 2008

LUKISAN PAGI DANAU TOBA



“Lake Toba from above” bagian pertama

...Fajar yang berkilau Datang membuka hari Sinarmu memberi harapan yang bersahaja Lihatlah warna pada cahaya Menjadi lukisan pagi...


”Lukisan Pagi”, lagu karya Tohpati yang dinyanyikan oleh Shakila yang populer menjelang akhir dekade 1990an, kembali terngiang saat melihat hamparan pemandangan Danau Toba dari bukit di Semenanjung Siuhan yang letaknya sekitar 15 menit perjalaan dari kota Parapat. Danau Toba di pagi itu sangat menakjubkan, bagaikan sebuah lukisan pagi yang sangat indah dan tak terlupakan.

Sinar matahari pagi hari itu menyeruak dari balik bukit, menembus kabut, dan pantulannya di atas permukaan air memancarkan cahaya bagaikan hamparan berlian yang sedang menari. Suara satwa liar seperti kawanan burung, kera, dan satwa lainnya sayup-sayup terdengar di kejauhan seolah mengajak orang yang berada di situ untuk keluar dari kamar dan bersama-sama menikmati keindahan alam Danau Toba. Udara pagi yang sejuk khas penggunungan menambah suasana tentram bagi setiap orang yang berada di tempat itu.

Di sisi kanan ”lukisan pagi” tersebut tampak Tanjung Unta yang merupakan salah satu daya tarik wisata alam di sekitar Parapat. Sebuah tanjung yang bentuknya menyerupai punggung unta. Sedangkan di sisi kiri tampak pulau Samosir sebuah pulau yang terdapat di tengah danau toba yang juga memiliki daya tarik wisata tersendiri.

Keindahan Danau Toba memang sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan wisatawan domestik dan manca negara. Danau ini merupakan yang terbesar di Asia. Terletak di ketinggian 906 meter di atas permukaan laut dengan kedalaman rata-rata sekitar 300 meter, panjang 81 km, dan lebar 30 km.

Menuju lokasi ”Lukisan Pagi”
Banyak cara untuk bisa menikmati pemandangan alam tersebut. Ada dua alternatif jalur yang sering dipakai oleh kebanyakan orang. Melalui jalur Tebing Tinggi, jarak yang harus ditempuh dari Medan ke Parapat sekitar 176 km atau 3 sampai 4 jam perjalanan menggunakan mobil. Pemandangan alam di sepanjang jalur tersebut cukup indah, hamparan hutan karet, pinus, dan kebun kelapa sawit memberikan kesan tersendiri bagi mereka yang melaluinya.


Alternatif kedua adalah melalui jalur Brastagi. Jalur ini memang agak jauh dibandingkan dengan jalur Brastagi. Jarak yang harus ditempuh dari Medan ke Parapat melalui jalur ini adalah sekitar 219 km. Namun demikian, banyak objek wisata yang dapat disinggahi seperti kawasan Brastagi dan air terjun Sipiso-piso di wilayah Tongging. Brastagi terletak di kawasan pegunungan yang berhawa sejuk dengan ketinggian sekitar 1.300 meter dari permukaan laut. Lokasinya berada di antara dua gunung berapi aktif gunung Sibayak (2.172 meter) dan gunung Sinabung (2.417 meter). Wilayah yang subur ini memiliki pasar buah dan pemandian air panas yang menjadi daya tarik. Di beberapa lokasi di Brastagi, wisatawan dapat melihat satwa liar seperti kera dan babon yang berkeliaran bebas di pinggir jalan.
Sementara itu, air terjun Sipiso-piso terletak di daerah Tongging memiliki daya tarik wisata air terjun yang sangat indah. Airnya mengalir dari dinding jurang yang curam dan jatuh dari ketinggian sekitar 120 meter ke sungai yang mengalir langsung ke Danau Toba. Pemandangan ke pulau Tao Silalahi di bagian utara Danau Toba yang sangat indah dapat dinikmati dari lokasi ini.

Bagi wisatawan yang mendambakan ketenangan dan privasi dalam menikmati pemandangan alam Danau Toba dapat memilih Patra Parapat Lake Resort yang terletak di Jl. Pertamina Siuhan Parapat. Hotel berbintang dua ini menawarkan fasilitas pemandangan alam yang sangat luar biasa. Di sinilah wisatawan dapat menikmati keindahan ”Lukisan Pagi” Danau Toba dari bukit di Semenanjung Siuhan. Tidak salah jika GM Patra Parapat Zulkifli Lubis mengatakan bahwa ini tempat yang tepat untuk mencari ketenangan. Bagi para backpacker juga tidak perlu khawatir. Harga kamar yang ditawarkan cukup murah. Standard Garden View Rp. 210.000, Superior Lake View Rp. 300.000, Suite Lake View Rp. 950.000, jika mau tambah Extra bed per buah seharga Rp. 85.000.

Hotel bintang dua ini diresmikan pada tahun 1973 oleh Ibnu Sutowo Direktur Utama Pertamina saat itu dengan sebutan Wisma Internasional. Jika melihat lokasinya dan fasilitas yang ada, bisa dipastikan wisma internasional Pertamina ini adalah yang terbaik di masanya.

Jumat, 16 Mei 2008

TERJEBAK DI NANJING ROAD

Entah angin apa yang membawa saya sampai ke negeri Cina. Tapi satu hal yang pasti, hari itu saya menginjakan kaki di negeri tirai bambu.

Pudong International Airport, Shanghai
Pagi itu pesawat mendarat tepat pukul 07.05 waktu setempat. Perbedaan waktu dengan Indonesia adalah satu jam lebih cepat, artinya di Indonesia saat itu masih pukul 06.05 WIB. Pudong International Airport memang pantas disebut sebagai bandara kelas dunia. Arsitektur yang modern lengkap dengan karpet tebalnya, mengantarkan kita sampai ke gerbang pemeriksaan imigrasi. Tidak terlihat antrian panjang di sana. Sesampainya di depan loket petugas imigrasi terlihat sebuah alat survey kepuasan pelanggan modern, ada pilihan yang sangat mudah dimengerti. Dari kiri ke kanan ada pilihan tingkat kepuasan kita. Warna hijau dengan gambar smiley menandakan bahwa kita puas, gambar merah dengan gambar wajah cemberut menandakan bahwa kita tidak puas. Ada juga tombol pilihan khusus kecepatan pelayanan. Baru saja saya berpikir untuk menekan salah satu tombol, petugas imigrasi dengan ramah mengembalikan passport saya dan mempersilahkan saya melewati gerbang imigrasi. Sungguh cepat, sepertinya tidak sampai dua menit. Luar biasa.

Setibanya di luar bandara, seorang petugas hotel telah menjemput dengan memegang papan nama. Saya pun menyapanya, ”Hallo sir, that’s my name,” ujar saya disambut senyum ramah pria setengah baya itu. Kami pun bergegas menuju mobil dan mulai bergerak menuju hotel yang jaraknya cukup jauh. Saat saya memulai pembicaraan, ia pun menjawab ”Sorry,” sambil menggelengkan kepala dan menunjuk ke mulutnya. Dari bahasa tubuhnya saya mengerti bahwa ia tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Saya tidak menyangka bahwa ini awal dari sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga.

Lebih dari satu jam lamanya kami melaju dari bandara menuju hotel. Perkiraan kasar jaraknya sekitar 100 km. Tiba di hotel saya memilih untuk beristirahat. Lagipula tidak banyak yang bisa saya lakukan dengan keterbatasan bahasa. Ternyata di belahan dunia ini nilai TOEFL setinggi langit sekalipun tidak ada gunanya. Bahasa ”Tarzan” jauh lebih manjur.

Taxi dan kemacetan di kota Shanghai
Waktu setempat menunjukkan pukul 12.00, sudah saatnya untuk mencari makan siang dan melihat kota Shanghai yang jaraknya sekitar 40 km dari hotel. Kesempatan ini sangat berharga, karena saya tidak punya waktu lagi selain siang hari ini. Saya pun menuju ke resepsionis hotel dengan harapan ada seseorang yang mengerti bahasa Inggris. Seorang petugas wanita muda dengan ramah menjawab pertanyaan saya dengan bahasa Inggris yang lumayan bisa dimengerti. Ia menuliskan alamat pusat perbelanjaan terkenal di kota Shanghai, Nanjing Road namanya. Ia menggunakan tulisan Cina yang saya tidak mengerti. Ia pun memanggil bell boy untuk menjelaskan maksud saya ke supir taxi. Dan singkat cerita, taxi kami pun melaju menuju tujuan.

Tak lama kendaraan melaju sopir taxi menanyakan alamat tujuan lagi dengan bahasa Cina. Dengan sedikit bingung saya pun menunjukkan tulisan resepsionis hotel yang kebetulan ditulis di brosur pariwisata Nanjing Road. Taxi pun kembali melesat dan tiba di depan sebuah gedung pertokoan. Fenshine Fashion and Accesories Plaza terpampang di atas papan merah ukuran raksasa. Dengan bahasa Tarzan ia menepuk pergelangan tangannya dan memegang jasnya sambil mengacungkan jempol. Oh, maksudnya disini tempat beli baju dan jam bagus dengan harga murah. Saya membayar taxi dan bergegas masuk ke gedung itu. Tidak banyak waktu yang saya miliki.

Fenshine, Nanjing Road, toko serba murah
Isinya seperti Aldiron Plaza awal 1990an. Banyak toko-toko kecil ukuran 2x3 memadati tiga lantai gedung tersebut. Masing-masing toko dengan dua sampai tiga orang penjaga. Ada yang menjual pernik-pernik khas Cina, baju, tas, asesoris, jam, sepatu, ”Lole’ Lole’ my flen, buy my flen,” rayu mereka sambil menunjukan jam tangan Rolex kepada saya. Oh iya, mereka rata-rata bermasalah dengan huruf R makanya mereka menyebut Lole’ dan friend mereka lafalkan flen. Oke lah, saya coba melihat-lihat. Beberapa toko ternyata menyembunyikan dangangan jamnya di belakang. Saya diajak menyembunyi ke balik dinding tokonya yang ternyata menyimpang puluhan jam tangan kelas atas itu seperti Tag Hauer, Breitling, Rolex, dan banyak lagi. Sepintas mirip aslinya. Tapi begitu dipegang kita bisa merasakan barang ini palsu. Tawar menawar pun terjadi, harga yang ditawarkan cukup tinggi sekitar 850 Renminbi atau sekitar 1,1 juta rupiah dengan kurs Rp 1.300,- . Harga tertinggi yang mereka tawarkan sekitar 1.000 Renminbi atau 1,3 juta rupiah. Berkat info dari seorang teman, saya nekat menawarnya di angka 85 Renminbi. Mereka pun tertawa dan berkata, ”you are a good joker my friend.” Karena tidak ada kesepakatan, saya pun menyingkir.

Kamar Rahasia. Sampai di sebuah sudut pertokoan itu saya tertarik dengan tumpukan kerajinan tangan khas Cina. Tiba-tiba seorang pria setengah baya berbadan gempal menepuk pundak saya, “watch my flen, come with me.” Karena masih penasaran, saya pun mengikuti langkahnya memasuki sebuah toko pakaian anak-anak. Dalam hati saya bertanya dimana dia menyembunyikan jam dagangannya, karena tidak ada celah seperti di toko-toko yang lain. Ia pun mengetuk dinding yang penuh dengan baju-baju yang bergelantungan dan seperti adegan di film mata-mata, salah satu sisi tembok itu ternyata sebuah pintu setinggi satu meter yang terbuka menuju sebuah ruangan kecil. “Come my flen,” ujarnya setengah memaksa memegang tangan saya untuk masuk.

Astaga, ternyata dibalik pintu rahasia itu ada sebuah ruangan kecil ukuran 1x2 meter dengan lampu pijar lima watt dan dipenuhi dengan jam tangan palsu berbagai merek. Edan, seketika saya teringat sebuah adegan film perang Vietnam saat seorang serdadu melakukan transaksi dengan mata-mata di kamar rahasia di sebuah bar. Bulu kuduk saya berdiri, keringat mulai membasahi kepala dan sebagian wajah. Saya harus keluar dari sini.

Saya pun membalikan badan, namun pria tadi segera menutup pintu dan menghalangi niat saya sambil terus merayu mendagangkan jam tangannya. Di dalam ada seorang lelaki remaja Cina yang sudah menunggu dan dengan gencar menawarkan dagangannya. Ya Allah, saya terjebak sendirian di ruangan sempit dan pengap diapit dua orang Cina sementara yang satu masih memegangi lengan saya. Dan tidak ada satu pun kata yang saya mengerti dari pembicaraan mereka selain Lole’ my flen.

Saya memberanikan diri untuk mendorong si pria gempal dan menggapai gagang pintu rahasia itu. Kalau dia menyerang, saya akan patahkan batang hidungnya. Saya harus keluar walaupun darah juga harus ikut keluar.

Sial umpatku saat memegang gagang pintu itu. Pintunya terkunci. Mereka pun meraih tangan saya sambil berkata,”don’t woly my flen, buy watch, good watch, what’s youl plice my flen?” kata itu berulang-ulang mereka bicarakan dengan aksen Cina kental. Salah satu dari mereka sibuk membuka bungkusan, tas, dan peti kecil yang semuanya berisi jam tangan mahal.

Akal sehat saya berkata, berikan tawaran tergila yang pernah ada mungkin ini satu-satunya jalan keluar. Saya pun mengambil jam terbagus di situ dan memainkan gaya menawar kaki lima Sogo Jongkok Tanah Abang, 20 Renminbi untuk sebuah Tag Hauer Carrera. Mereka pun tertawa, “you al funny my flen. Come on, I give you 900. what’s youl best plice?” Sekarang saatnya jurus Malioboro, “I give you 25,” sambil menekan tombol di kalkulator. Mereka agak kesal dan memaksa, “Don’t be like that my flen, I give you 800.” Kami berdebat panjang, waktu terasa sangat lama. Suara mesin berdetak dari ratusan jam tangan membuat suasana semakin mencekam. Kini jurus keras ala Pasar Ular yang saya pakai,”30 Renminbi that’s it, take it or leave it! Now open the door!” ujar saya tegas. Mereka masih berusaha merayu dan salah satu dari mereka merogoh kantong mengambil sesuatu. Mata saya langsung menuju ke benda yang ia keluarkan. “Pisau” dalam hati saya. Alhamdulillah, ternyata ia meraih sebuah remote kecil yang sekilas bentuknya seperti pisau lipat. Ia menekan tombol, lampu hijau kecil menyala, klik, suara kunci pintu terbuka. Astaga, ternyata pintu ini menggunakan kunci canggih, saya perhatikan ada dua magnit sebesar jempol orang dewasa yang sejak tadi mengunci saya di dalam ruangan kecil itu. Dan semua beroperasi secara elektronik. Saat saya hendak keluar mereka masih saja berkata,”come on my flen, what’s youl last plice again my flen. Come again my flen.”

Saya berdiri sejenak di antara toko-toko menarik nafas, menenangkan diri, memeriksa dompet, passport, kamera, handphone. Alhamdulillah, semua aman. Saya pun melanjutkan petualangan belanja murah ala Shanghai dan mendapatkan beberapa barang dengan harga ekstrim murah. Salah satunya adalah Tag Heuer Carrera otomatis yang dibuka pada harga 900 Rmb bisa saya dapatkan dengan harga 130 Rmb atau sekitar 170 ribu rupiah. Lumayan.

Perut terasa melilit saat saya sadar jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Ternyata sejak mendarat tadi pagi, belum ada makanan yang masuk. Saya pun bergegas keluar mencari makanan cepat saji di sebuah restoran hamburger Paman Sam yang terkenal. Setelah perut kenyang, saya pun bergegas untuk pulang dan menghentikan taksi. Secarik kertas dengan nama hotel dan alamat lengkapnya yang sudah saya persiapkan saya serahkan kepada supir taksi. Sungguh menakjubkan, kertas saya dikembalikan dan ia bilang “No”. Taksi kedua, ketiga, keempat, kelima, dan keenam semua menjawab hal yang sama. Sangat menyebalkan. Apa mau mereka? umpatku.

Peta wisata: semua bahasa Cina
Keluar dari sarang macan, masuk ke sarang ular. Saya kembali terjebak, kali ini di Nanjing Road. Putus asa, bingung, dan pusing campur aduk. Sementara tidak ada satupun orang yang mengerti bahasa Inggris selain penjaga hotel. Tidak ada pemandu wisata berbahasa Inggris yang banyak berkeliaran seperti di istana Hoffburg, Vienna. Tidak ada Tenaga Kerja Indonesia seperti di Malaysia. Tidak ada supir taxi tembakan seperti di terminal Baranangsiang Bogor. Tidak ada kawan-kawan tukang ojek seperti di Jalan Perwira, dan tidak ada polisi wisata seperti di silang Monas, Jakarta. Sejenak saya duduk dan berpikir, membuka tas, dan melihat ada amplop karton pembungkus kartu kamar hotel. Di amplop tersebut tertera nama dan alamat hotel dalam dua huruf latin dan Cina. Mungkin ini jawabannya.

Saya menghentikan taksi yang melintas dan dengan mantap duduk di kursi penumpang. Saya tunjukkan ampol kecil tadi dengan harapan bapak tua pengemudi taksi itu mengerti maksud saya. Ia mengenakan kacamata baca miliknya, mengerutkan dahinya, selanjutnya menekan tombol start di argo taksinya. Alhamdulillah, ia mengerti maksud saya dan taksi itu melesat menebus gelapnya Shanghai menuju Jiading District tempat hotel saya berada.

Raut wajah orang-orang Cina yang tidak akan saya lupakan. Dari wajah mereka terpancar sikap ramah ala asia, kaku ala blok timur, dan lugu ala wong ndeso. Sikap loyal, keteguhan, usaha yang gigih mereka sampaikan dan ajarkan melalui bahasa Tarzan selama berinteraksi dalam waktu singkat itu sangat berharga bagi saya.

Petualangan tiga jam di Nanjing Road bersama bangsa Cina ini memiliki catatan tersendiri. Mereka adalah orang-orang tangguh. Mereka adalah orang-orang yang mampu mempertahankan nilai luhur budaya bangsa tapi mereka juga yang mampu mendobrak pembatas dari sebuah negara yang tertutup menjadi negara yang terbuka dan membangun infrastruktur standar kelas dunia. Mereka telah berhasil mengubah citra negara miskin menjadi sebuah negara yang disegani.


Cina memang negeri yang luar biasa.