Sabtu, 11 Juli 2009
Perjalanan "kereta tua" terasa agak melambat saat kami memasuki kawasan perbukitan di sekitar Salatiga. Rute Kopeng yang indah dan menantang itu terpaksa kami ikhlaskan dan kami pun memilih jalur konvensional melalui pertigaan Bawen menuju Magelang.Toh tidak ada yang bisa kami lihat di Kopeng karena gelap malam sudah turun menyelimuti langit Jawa.
Salatiga sebenarnya tidak ada di agenda perjalanan kami. Tapi, salah satu mantan bos saya ada yang mengisi usia pensiunnya di kawasan perbukitan di sana. "Kami membuka café dan menjual tanaman hias," ujarnya ramah saat menerima kedatangan kami. Rumah asri disulap menjadi café yang bersebelahan dengan kebun pembibitan tanaman hias. Kedatangan kami memang satu hal yang mereka tunggu di hari itu.
Suara muadzin terdengar sayup melantunkan baris terakhir adzan magrib. Di SPBU terdekat, mobil tua ini pun menepi. Dalam hening kami bersujud kepada Yang Maha Kuasa.
Malam itu kami merasakan dua hal yang kontradiktif. Pertama, semangat advonturir untuk menembus gelap kota-kota di Jawa Tengah, antara Salatiga dan Jogjakarta. Kedua, rasa lelah yang sudah mulai mengikis rasa keingintahuan kami.
Jalan berliku dan mendaki mengantar kami menuju Magelang. Tak terasa, kami sudah berada di antrian kendaraan yang mulai tampak menjelang pusat kota Magelang. Suasana di tengah kota pun terlihat ramai. Hiruk pikuk manusia memadati alun-alun menambah kesibukan beberapa Polantas mengatur jalan. Agak semerawut dan membingungkan, tapi semua orang terlihat senang.
Arah menuju Jogja menghilang. Kami pun kehilangan petunjuk. Jalan menyempit dan menjadi satu arah. "Lurus," kata hati saya meyakinkan diri.
Lumayan melegakan saat kami melihat papan penunjuk arah menuju candi Borobudur. "Kita berada di jalan yang benar," ujarku. Laju menuju Jogja.
Tak banyak yang bisa dilihat karena waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tapi tidak demikian dengan kondisi di jalan Malioboro, masih ramai. Jadi ingat lantunan lagu KLA Project..Ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila...
Prawirotaman 2, kami disambut gapura keramik yang mencantumkan nama-nama penginapan di jalan itu. Ide yang bagus untuk penunjuk jalan di tempat wisata. Sebuah rumah tamu di jalan itu menjadi tempat kami menginap. Bagi yang belum tahu, sebagai gambaran suasana di Prawirotaman persis seperti kawasan jalan Jaksa di pusat kota Jakarta. Banyak turis backpacker yang memilih guest house di kawasan ini. Faktor harga dan ketenangan menjadi pilihan yang diunggulkan di lingkungan ini.
Waktu istirahat untuk kami dan kereta tua kami Lancer 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar