Papua
Siang itu, tepat waktu makan siang, pesawat kami mendarat dengan mulus di Bandara Sentani Jayapura. Rasa lapar sirna seketika kami melihat pemandangan pegunugan yang indah di Bandara. Suasana hangat menyambut kedatangan semua penumpang pesawat saat itu. Inilah tanah Papua.
Bandara Sentani terletak kurang lebih sekitar satu jam perjalanan dari kota Jayapura.Menuju kota tersebut, rombongan melintasi sebuah danau yang sangat luas. Danau Sentani namanya, sepintas mirip dengan Danau Toba di Sumatera Utara.
Di sisi danau banyak terdapat lokasi yang menarik perhatian. Papan nama obyek wisata Danau Sentani seolah mengajak para pelancong untuk melihat dan menikmati keindahan danau dari dekat.
Masih di tepi Danau Sentani, berdiri sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Dari luar, rumah itu tampak biasa saja. Sederhana layaknya rumah penduduk di daerah tersebut. Kami memutuskan untuk mampir sejenak.
Saat turun dari kendaraan, seekor anjing peliharaan sang empunya rumah menyambut kedatangan kami. Namun segera anjing tersebut dihalau oleh si tuan rumah untuk tidak mengganggu kami. Syukurlah.
Dengan ramah si tuan rumah tersenyum sambil menyodorkan tangan memperkenalkan diri. ”Saya Agustinus Ongge,” katanya sambil tersenyum ramah. Sorot matanya sangat welcome. Pria asli Papua separuh baya berperawakan tegap itu pun mengajak kami masuk ke dalam rumah panggung miliknya. Konon, ia termasuk orang yang sulit dicari.
”Ini kebetulan beliau ada di rumah. Biasanya susah kalau mau cari dia,” ujar seorang teman yang mendampingi kami.
Di dalam rumah itu kami melihat tumpukan kulit kayu. Sebagian masih belum diolah, sebagian lagi sudah dihiasi dengan lukisan dan ada beberapa yang sudah berbentuk tas, kantong handphone, dan kerajinan lainnya.
”Di sinilah rumah kerja kami,” kata Agus seraya mempersilahkan kami duduk lesehan di atas lantai kayu. Dari jendela rumah itu tampak keindahan Danau Sentani dan terasa terpaan ramah angin danau dan pegunungan. Luar biasa.
Agustinus Ongge adalah salah seorang pengerajin kulit kayu khas Papua. Konon di masa lalu, kulit kayu adalah pakaian khas mereka. Kini, sesuai dengan perkembangan zaman, kulit kayu sudah tidak lagi digunakan sebagai bahan sandang. ”Kecuali kalau sedang ada upacara adat,” ujarnya.
Saat kami tanya bagaimana cara membuat kerajinan kulit kayu, Agustinus dengan sigap membentangkan selembar kulit kayu yang masih polos. Agustinus beserta istri sangat terampil melukis di atas kulit kayu. Ia mempersilahkan kami untuk mengabadikan proses tersebut. Darah seni putra Papua ini memang patut diacungi jempol. Hanya bermodalkan kuas seadanya, arang, tanah merah, racikan kapur sirih, dan getah kayu susu, ia berkreasi melukis di atas kulit kayu Kombow.
Bagi Agus, titik awal ia berkecimpung di bidang kerajinan kulit kayu berangkat dari keprihatinannya terhadap perkembangan kerajinan kulit kayu yang mulai punah pada era 1980-an. ”Dulu digunakan untuk pakaian, tapi setelah 1980-an kulit kayu punah dan tidak dilestarikan,” ujarnya. Ia pun tergerak untuk ikut melestarikannya. ”Saya ikut pelatihan yang diadakan pihak perindustrian daerah setempat,” ujarnya.
Ornamen yang ia lukis adalah khas Sentani. Kebanyakan adalah simbol-simbol seorang pemimpin.
”Ini ornamen simbol kebesaran ondoavi seorang pemimpin,” ujarnya sambil menunjukkan beberapa contoh lukisannya.
Kata Agus, ada lagi motif igwa dan kalu yang juga menggambarkan kebesaran istri ondoavi. Selain itu, Agus memperlihatkan bahwa motif daun sagu, siku burung, kura-kura dan ikan sebagai lambang kemakmuran.
Untuk mengembangkan usahanya, Agus mendapatkan bantuan dana dari Pertamina yang cukup lumayan. ”Waktu itu saya manfaatkan untuk membeli bahan baku, mesin dan perlengkapan, bahan pewarna dan lain-lain,” ujarnya.
Satu lembar kulit kayu bisa ia dapatkan dengan harga Rp. 50.000,00 dan untuk transportasinya ia membutuhkan Rp. 15.000,00 per hari. Penghasilannya sendiri, kalau sedang ramai pesanan, kata Agus, ia bisa mendapatkan Rp. 100.000,00 per hari, tapi kalau sedang sepi bisa separuhnya.
Dari Pertamina, selain mendapat bantuan dana, Agus juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pameran di beberapa tempat di luar Papua. Niat tulus Agustinus Ongge merupakan salah satu contoh kepedulian seorang warga terhadap kelestarian budaya bangsanya.
Bandung
Sementara itu, di Bandung, Jawa Barat, seorang Dayat Supriatna pun mencoba melestarikan nilai-nilai budaya Indonesia. Pria kelahiran Bandung 50 tahun silam ini mengawali kegiatannya dalam berkarya setelah lulus dari bangku sekolah dasar pada tahun 1966. Sekitar tiga tahun Dayat melakoni hidupnya dengan bekerja membuat pigura dari bambu. Di sore hari, Dayat menggali ilmu membuat patung Janger Bali.
Pada tahun 1974, Dayat mulai memutuskan untuk membuat dan menjual patung hasil karyanya sendiri.
”Saya waktu itu berjualan door to door di sekitar Jalan Braga di Bandung di daerah perumahan orang-orang asing,” ujarnya.
Dan pada 1977 Dayat mendapat pesanan pembuatan topeng khas Aborigin dari seorang Jerman bernama Erick. Dan sekitar duabelas tahun kemudian, ia sudah bisa merambah pasar di luar Bandung seperti Banjarnegara, Pangkal Pinang, Palembang, Bali dan Surabaya.
Bahkan pada tahun 1997 ia mengikuti pameran di Jerusalem atas undangan dari Erick. Hingga pada akhirnya setahun kemudian, produk dari Sanggar Reret yang dipimpinnya bisa dipasarkan ke luar negeri seperti Hongkong, Peru, Amerika Serikat, Singapura dan beberapa negara lain. ”Alhamdulilah pada tahun 2003 saya mendapat bantuan dari Pertamina karena usaha saya sempat mengalami penurunan usaha saat itu. Dan saya bersyukur juga bisa diajak pameran dengan Pertamina karena pada saat itu pemasaran sangat sulit,” ujarnya bersyukur.
Dayat mengatakan bahwa sejak pameran bersama 2003 bersama Pertamina, Dayat mendapatkan pesanan partai besar patung khas Nias untuk dibawa ke Peru sekitar 3.000 lebih. ”Itu tahap pertama, setelah itu datang lagi purchase order 4.000 lagi,” katanya.
Inovasi dan kreasinya inilah yang pada tahun 2004 membawanya ke suatu hal yang luar biasa. Dayat mendapatkan gelar Honorary Doctor dari Chicago International University atas dedikasi dan inovasi dalam pengembangan usaha kerajinan kayu.
”Waktu itu saya didampingi Asisten Bupati Sumedang,” ujarnya. Dan masih pada tahun yang sama ia juga mendapatkan penghargaan dari ASEAN Development Citra Awards 2004.
Bagi Agustinus Ongge dan Dayat Supriyatna, budaya bangsa memiliki arti penting di dalam sanubari mereka. Agustinus dan Dayat hanya segelintir dari banyak pengerajin yang peduli terhadap kelestarian budaya bangsa ini.
(adp_Feature Reportase_Diterbitkan 2006)
Sabtu, 18 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar