Di penghujung tahun 2004, tepatnya 26 Desember 2004, Indonesia meneteskan air mata. Bencana dahsyat menghantam ujung utara Sumatera. Tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara menyebabkan angka kematian yang tinggi. Jumlah korban saat itu mencapai bilangan ratusan ribu. Ini menjadi duka kita semua.
Bencana gempa tektonik serupa terjadi di lepas pantai Samudera Indonesia. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya pada Sabtu pagi (27/5). Ribuan bangunan, infrastruktur dan jaringan komunikasi hancur. Bahkan korban jiwa mencapai bilangan ribuan. Pemandangan yang memilukan.
Penanggulangan terhadap bencana alam memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, penanganan kasus demi kasus harus cepat dan tepat. Keterlambatan akan berakibat pada pemberatan kondisi korban. Semakin lama penanganannya, semakin besar jumlah korban yang meninggal dunia.
Salah satu tenaga medis Pertamina Peduli, dr. Asril Sjakur, mengatakan bahwa untuk penanganan bencana semacam ini tergolong pada traumatologic emergency. Maksudnya adalah suatu kondisi emergency yang menyebabkan trauma fisik (akibat benturan, Red.). “Biasanya, bencana alam seperti ini (gempa bumi, Red.) yang terkena fisiknya, selain sisi psikologisnya,” papar Sjakur.
Ia memberi contoh pada beberapa korban, mayoritas dari mereka mengalami patah tulang dan luka yang disebabkan oleh tertimpa runtuhan rumah tempat tinggal mereka.
Menangani korban trauma prinsipnya sederhana. Intinya, jangan sampai korban yang terkena (luka, Red.) skala ringan menjadi berat karena keterlambatan penanganan. Prinsipnya adalah cepat dan tepat.
Asril Sjakur mengatakan bahwa dalam bencana gempa Yogya kali ini, korban yang diterima di Posko Kesehatan Pertamina Peduli mendapatkan proses life saving terlebih dahulu. “Kita tentukan kondisinya. Kalau merah, langsung kita kirim ke RS Bethesda. Di sana tim dari RSPP sudah siap,” ungkapnya.
Operasi penyelamatan korban gempa membutuhkan sinergisitas yang tinggi. Mobilisasi bantuan medis dan logistik harus sejalan. Dalam kasus ini, logistik tidak hanya terbatas pada makanan. Logistik termasuk obat-obatan dan peralatan. Dalam prosesnya, logistik harus tiba di lokasi just in time. “Oleh karena itu, sebaiknya mereka sama-sama jalan. Jadi kita melihat pada titik di mana kejadian itu terjadi,” tuturnya.
Sjakur menjelaskan bahwa disebabkan oleh kondisi geografis yang tersebar, maka diperlukan mobilitas tinggi untuk mencari korban. ”Tidak mungkin mereka datang sendiri. Kemungkinan kalau mereka diantar. Tapi itu karena keterpaksaan. Seharusnya kita datang ke sana, kerja di sana, urus yang sakit,” tegasnya.
Pendapat yang sama juga diutarakan oleh dr. Pramadhya Bachtiar koordinator tim RSPP yang juga bergabung di bawah koordinasi Tim Medis Pertamina Peduli. Ia menambahkan bahwa pada saat bencana, tim medis yang tiba di lokasi tidak bisa diam dan menunggu. Pramadhya menegaskan bahwa saat itu tim medis berinisiatif bergerak masuk ke lokasi yang terpencil.
Dr. Pramadhya mengatakan bahwa saat itu Tim Pertamina Peduli mendapatkan informasi dari PMI, berita dan dari masyarakat mengenai lokasi yang belum mendapatkan pertolongan medis. Oleh karena itu, Tim Pertamina Peduli bergegas menuju ke lokasi dan memberikan bantuan medis dan logistik. ”Rata-rata di setiap wilayah yang kami kunjungi, Tim Medis Pertamina Peduli adalah tim medis pertama di sana,” ujar Pram.
Ia mengatakan bahwa dalam operasional di lokasi, tim medis bekerjasama dengan aparat desa dan pihak puskesmas setempat. ”Ini maksudnya supaya mereka mengetahui tindakan apa yang telah kami lakukan sehingga
nantinya mereka bisa memberikan tindakan yang tepat pasca penanganan ini,” katanya menambahkan.
Pram memaparkan bahwa penanganan operasi korban gempa terbagi dua jenis yakni operasi cito dan operasi elektif. Operasi cito sifatnya segera karena golden period-nya hanya delapan jam. Jika terlambat, kondisinya bisa memburuk bahkan mengancam jiwa. Sedangkan operasi elektif sifatnya lebih ringan dan bisa dijadwalkan.
Posko Medis
Tim Medis Pertamina Peduli menurunkan tenaga medis yang tidak sedikit yang secara keseluruhan mencapai 43 orang. Untuk membantu kegiatan operasi di RS Bethesda, Pertamina Peduli menempatkan dokter spesialis dari RSPP yang dibantu paramedis.
Untuk posko medis di lapangan, Koordinator Posko Kesehatan Pertamina Peduli dr. Firdaus Junaini mengatakan bahwa pada awal pasca gempa, Pertamina Peduli menyiapkan tenda posko di lapangan Dwi Windu bergabung dengan PMI dan bekerjasama dengan Kodim 0733 BS/Semarang. Selain itu juga mendirikan posko kesehatan di Kecamatan Prambanan.
Dr. Pramadhya menjelaskan bahwa tim medis membawa peralatan, obat-obatan, dan tenaga paramedis pendukung. Dokter spesialis yang diterjunkan terdiri dari spesialis bedah ortopedi dan traumatologi, spesialis bedah umum, dan dokter anastesi. ”Tim kami lengkap,” kata Pram.
Setelah beberapa hari, jumlah pasien tidak sebanyak saat satu hari pasca bencana. Oleh karena itu, kata dr. Firdaus Junaini, Pertamina Peduli proaktif menjemput bola. Tim Medis Pertamina mendatangi pelosok desa yang tidak terjangkau menggunakan dua unit ambulance milik RSPP, dua unit semi ambulance milik UP IV Cilacap, dan satu unit milik UPms IV. Pasien yang dapat tertolong sekitar 75 sampai 100 orang per ambulance per hari. Berdasarkan laporan posko kesehatan, Tim Medis Pertamina Peduli memberikan bantuan ke pelosok, diantaranya desa Krapyak Wetan, desa Karang Weden, desa Gunung Payuh, Desa Srihardono, desa Pakah Palbayang, desa Genting Tirtomulyo, desa Imogiri, desa Pundong, desa Gayamharjo, desa Duku Nawung, desa Jatisari, dan desa Bugisan.
Berdasarkan laporan dari posko kesehatan Pertamina Peduli Yogyakarta pada 2 Juni 2006, jumlah pasien yang ditangani sebanyak 1.208 orang, terdiri dari 968 kasus umum dan 241 kasus bedah. Enam diantaranya untuk bedah tulang.
Suka Duka
”Kami diperintahkan GM UPms IV untuk berangkat Sabtu sore. Kami standby di lokasi Sabtu malam,” ujar Dr. Firdaus saat ditanya awal kegiatan posko kesehatan Pertamina Peduli.
Dirinya mengaku kebingungan karena tidak ada ”peluru” yakni obat-obatan dan dokter. ”Cari makan sulit, ada tetapi jauh, dan harganya luar biasa mahal. Makan susah, minum susah, mandi susah. Begitu obat dan tim medis datang, kami senang. Semua sakit maag kami hilang,” ujarnya seraya berkelakar. ”Kemudian ada kontak dari RSPC mereka siapkan tenaga medis dan obat-obatan lengkap. Kemudian RSPP juga kontak untuk kirim bantuan. Minggu pagi kami sudah bisa bekerja.”
Pada kesempatan terpisah, dr. Pramadhya menceritakan sebuah success story Tim Medis Pertamina Peduli. Saat itu, salah satu pasien yang diterima Tim Pertamina Peduli di RS Bethesda tergolong sangat parah. “Dugaan awal kami, pasien ini tidak dapat tertolong,” ujarnya.
Ia menjelaskan kondisi trauma perut yang dialami pasien telah menyebabkan kerusakan parah pada hati sehingga terjadi pendarahan intra abdominal yang hebat. “Tapi dokter spesialis bedah Joko Sanyoto bersama timnya berusaha maksimal dan akhirnya pasien dapat tertolong setelah menjalani dua kali operasi,” ceritanya.
Keberhasilan Tim Pertamina Peduli dilandasi adanya team work yang solid dari seluruh lini. Perjuangan yang dilakukan seluruh Tim Pertamina Peduli semata-mata sebagai wujud kepedulian perusahaan terhadap korban bencana di Yogyakarta dan sekitarnya.
(adp_Feature Reportase_Bencana Gempa Jogja_Diterbitkan 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar