Jika kita berjalan di daerah pesisir pantai Indonesia, tentunya kita dengan mudah menemukan perkampungan nelayan. Dan biasanya, tak jauh dari perkampungan itu terdapat pasar ikan yang menjual berbagai macam jenis ikan dan kerang laut. Dan tidak jauh dari pasar itu biasanya terdapat warung-warung yang menyajikan berbagai macam makanan laut (seafood) yang dimasak dengan bumbu khas.
Di malam hari pemandangan ini cukup menyenangkan, sambil beristirahat melepas lelah, menyantap hidangan seafood, melihat hiruk pikuk pedagang ikan menjajakan dagangannya dan merasakan belaian angin laut.
Namun saat matahari mulai memancarkan sinarnya, sedikit demi sedikit mulai terkuak betapa tidak indahnya pemandangan di tempat itu. Penuh dengan lalat dan sampah. Sampah sisa aktivitas di malam hari seperti sisa dagangan yang tidak terjual dan kulit kerang. Menumpuk dan membuat pemandangan yang sangat bertolak belakang dengan yang kita bayangkan.
Ibarat pepatah mengatakan habis manis sepah dibuang, maka nasib kulit kerang tidak semujur isinya. Bahkan untuk makanan ternak pun tak bisa, karena memang tidak bisa hancur sama sekali. Kulit-kulit kerang tersebut pun harus rela teronggok di sepanjang pantai. Sebagai sampah.
Namun pepatah itu kini berganti, habis manis sepah didaur ulang, begitulah kira-kira cara pandang Jaime Tauba (50), pria kelahiran Filipina yang sekarang sudah menjadi warga negara Indonesia. Pria ini datang ke Indonesia awalnya sebagai pekerja di sebuah perusahaan berbendera Amerika. Saat bertugas di Indonesia, ia melihat banyak sampah kulit kerang di sepanjang pantai Indonesia yang dibuang begitu saja, menggunung tidak terurus. Padahal, menurutnya, di negara asalnya, kulit kerang tersebut diolah menjadi bentuk kerajinan yang sama khasnya dengan kerajinan batik di Indonesia.
Ia dan istrinya, Siti Nurhandiyah (44), mulai merintis usaha ini pada tahun 1986. Siti menjelaskan bahwa asalnya kerajinan kulit kerang ini dari negara suaminya. Awalnya, ia hanya menjual bahan mentah ini ke Filipina. Bahan mentah ini ia dapatkan di sepanjang pantai utara Jawa. Namun lama kelamaan, ia mulai berpikir amat sayang jika hanya sekedar menjual bahan mentahnya saja.
Akhirnya, Siti dan suami mulai membuat desain sesuai karya sendiri yang sudah disesuaikan dengan budaya di Indonesia. Produknya meliputi kap lampu, hiasan, dinding kerang, dan pernik-pernik lainnya. Usaha ini dimulai dengan modal sendiri. “Dari gaji suami,” kata Siti yang memanfaatkannya untuk terobosan ini. Namun demikian usaha ini sempat tertunda karena sumber daya manusia tidak ada. “Nah, setelah itu,” kata Siti,” kami datangkan SDM khusus dari Filipina sebanyak empat orang selama empat tahun.”
“Awalnya kami mulai buka usaha di Palembang. Namun mengingat bahan baku berasal dari Jawa dan Jakarta, kok kelihatannya lebih efisien kalau kami yang datang mendekat.” Akhirnya Siti dan suami memutuskan untuk membuka usahanya di Cirebon. “Di daerah ini banyak pengrajin,” ujarnya.
Ternyata efek samping dari usahanya ini sangat positif. Industri kerajinan ini menyerap banyak tenaga kerja. Siti mengatakan bahwa saat ini di dalam ada 200 orang, sedangkan di luar ada sekitar 70 orang. “Yang diluar itu mereka mengerjakannya di rumah dan mengirim kerang dalam keadaan bersih,” kata Siti. Ia menambahkan bahwa kerang yang akan dibentuk lingkaran dan lain-lain juga sudah diserahkan kepada mereka (baca: pekerja). Memang dengan demikian ada pengembangan lapangan pekerjaan.
Siti menjelaskan bahwa pihaknya tidak bermaksud untuk menambah jumlah pekerja. “Kami berniat untuk mengembangkannya dengan cara kalau ada order pekerjaan disuruh bawa pulang supaya dia bisa ajak saudaranya terlibat dan ini efisien bagi mereka dan saya,” ujarnya lagi.
Usia pekerja 18-30 tahun, mulai dari pemberdayaan anak yang putus sekolah sampai ibu yang buta huruf. Sampai dengan sarjana untuk tenaga pembukuan. Rata-rata dalam sebulan untuk menggaji pegawai, Siti harus merogoh koceknya dari Rp 40 juta sampai Rp 68 juta. Tapi terkadang di musim sepi, mereka istirahat dan tidak masuk kerja. Siti memaparkan bahwa dasar pembayaran borongan per pieces hasil kerja misalnya solder per keping dibayar Rp 17. Target minimal 1.500 keping per hari. “Otomatis jadi Rp 24.500. Ini tergantung dari kemampuan mereka,” kata Siti.
Dalam menjalankan usahanya, Siti juga melaksanakan pembinaan mental dengan cara pengajian membaca Surat Yasin dan sholat wajib bersama. “Ini untuk memperkuat mental mereka,” ujarnya.
Proses
Bicara mengenai proses, Siti menjelaskan bahwa dibutuhkan keterampilan khusus untuk bisa membuat kerajinan kulit kerang. Siti menjelaskan bahwa kulit kerang ini tidak perlu diawetkan hanya dibersihkan saja. Menurutnya, proses dari sampah kerang dicuci pakai air, dengan bahan kimia, cuci ulang lagi, seleksi, sampah dibuang, kemudian dari kerang jenis tersendiri diseleksi sesuai keperluan,” katanya.
Kalau kita ingin buat mangkok, piring, gelas, kata Siti, kita proses dengan menggunakan acid dan selanjutnya direndam dengan peroxide. Kalau untuk pembuatan kap lampu, jelas Siti, setelah dicuci kulit kerang langsung digunting sesuai patron, di-frame dengan kuningan dan digabung dengan solder. “Dia sifatnya seperti fiber dan tidak pecah. Ini perlu keterampilan tangan dan seni memilih kerang yang cekung,” ujarnya. Kemampuan yang harus dimiliki oleh pekerja harus beraneka ragam. “Seorang pekerja harus mampu untuk ditempatkan dibagian seleksi, bor, cuci, frame dan lain sebagainya,” kata Siti.
Untuk memasarkan produknya, Siti membutuhkan jaringan pemasaran yang kuat. Hal ini harus didukung dengan kegiatan promosi yang gigih. Selama menjalankan usahanya, Siti sudah pergi ke penjuru dunia untuk memasarkan kerajinan kerangnya. “Kami pernah diajak oleh Pertamina untuk pameran di Amerika tahun 2002,” ujarnya. Waktu itu, kata Siti, kami memamerkan produk kerajinan kulit kerang keliling Amerika mulai dari California, LA dan Kanada dalam perjalanan misi dagang yang semuanya ditanggung Pertamina.
Siti mengakui bahwa peran Pertamina terhadap pengembangan usahanya sangat besar. Sejak 2002 Siti menjadi mitra binaan Pertamina DOH JBB. “Kalau misalnya sedang ada misi dagang ke luar negeri, sangat terasa sekali peran bapak angkat yang mengajak kami. Kalau dengan Pertamina kami benar-benar menjadi anak, jadi segalanya ditanggung Pertamina. Awalnya hanya mimpi tapi syukur ada Pertamina yang menjadi bapak angkat bagi kami,” ujarnya senang.
Untuk pameran di dalam negeri, Siti mengatakan bahwa pihaknya pernah diajak misi dagang, pameran di Jakarta. Tahun lalu, ungkap Siti, pihaknya diajak pameran Inacraft di JCC. “Kami juga temukan beberapa traders dan buyers di Jakarta. Sehingga muncul jaringan dari jangka panjang,” katanya.
(adp_Feature Reportase_Diterbitkan 2006)
Sabtu, 18 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar