Sabtu, 18 Juli 2009

Patung Asmat: Karya Seni dan Cinderamata

Patung Asmat sudah cukup dikenal oleh publik terutama para wisatawan. Patung Asmat merupakan salah satu cinderamata yang kerap dicari. Pasalnya keunikan patung tersebut serta nilai seni ukirnya senantiasa menarik perhatian para pembelinya.

Patung Asmat sendiri memiliki nilai seni dan sejarah yang penuh liku. Seperti ditulis di Kompas pertengahan tahun lalu, dikatakan bahwa sejak tahun 1700-an, suku Asmat telah dikenal dengan keterampilan mengukirnya. Kesenian mengukir ini berawal dari kepercayaan terhadap arwah nenek moyang yang disimbolkan dalam bentuk patung ukiran.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Papua Abner Kambuaya di Jayapura, seperti dikutip Kompas (10/06/2004) mengatakan, upacara keagamaan telah melahirkan budaya mengukir di Asmat. Pada sebagian daerah, sebuah upacara menghendaki adanya pemotongan kepala manusia dan kanibalisme guna menenangkan arwah nenek moyang. Untuk menghormati arwah nenek moyang, kata Abner, mereka membuat patung-patung yang menyerupai arwah nenek moyang yang datang dalam mimpi. Lambat laun, kepercayaan ini menjadi tradisi mengukir dan memahat patung kayu.

Patung-patung ini dibuat secara kasar dan setelah digunakan dalam upacara agama tertentu lalu ditinggalkan di dalam rawa sebagai wujud para arwah yang tinggal untuk menjaga hutan sagu dan pohon palem yang merupakan sumber makanan utama masyarakat Asmat.

Dalam perjalanannya, ukiran-ukiran khas Asmat digemari di luar negeri berkat pertolongan para misionaris asing. Patung Asmat menjadi terkenal dan disimpan di sejumlah museum di dunia. Nilainya pun dapat disejajarkan dengan barang-barang hasil seni Eropa dan hasil kebudayaan yang tinggi dari daerah Sungai Nil, Eupharathes, Gangga, dan Indus. Sekitar pertengahan 1960-an, International Labor Organization (ILO) pun menganjurkan agar menjual barang-barang seni Asmat tersebut. ILO juga mendirikan perindustrian dan industri rumah tangga guna menjual barang-barang dagangan di Agats dan Rotterdam. Namun karena perkembangannya kurang pesat, kegiatan ini dikembalikan ke Pemerintah Indonesia.

Cinderamata
Seiring dengan perkembangan dunia pariwisata dan seni rupa di tanah air, karya seni patung Asmat pun menjadi mudah untuk ditemukan. Bahkan di sejumlah daerah wisata yang letaknya jauh dari tanah Papua seperti Jawa dan Bali sudah banyak pengerajin-pengerajin patung Asmat. Patung Asmat yang merupakan hasil kerajinan dari masyarakat Papua ternyata banyak dipasarkan di Bali. Konsumen yang ingin membeli, bisa dengan mudah mendapatkan di tiap ruas jalan di Kuta. Patung Asmat yang memiliki ciri khas mampu menarik minat konsumen. Bahan dasarnya pun beragam. Ada yang terbuat dari kayu dan ada juga yang dibuat dari tanah liat.

Usaha membuat patung Asmat pun mulai ditekuni banyak orang. Seperti di Jawa misalnya. Sebut saja Mardi Rahayu (36), seorang pengusaha Galeri Asmat Cilacap. Ia menekuni usaha ini dengan dasar ilmu pengetahuan yang didapatkan dari bangku sekolah di Seni Rupa IKIP Yogyakarta. Mardi mengakui bahwa usaha ini bukanlah yang pertama ia lakukan. Sebelumnya ia sempat membuka usaha reklame. Namun terpaksa gulung tikar karena dihantam badai krisis ekonomi pada tahun 1997.

Bermodalkan pengetahuannya dibidang seni rupa itulah ia mencoba untuk beralih ke kerajinan patung tanah liat. “Saya memilih kerajinan patung Asmat karena trend yang sedang berkembang saat itu adalah patung Asmat,” ungkapnya. Ternyata kombinasi antara skill, pengetahuan dan refrensi dari beberapa literatur pun mampu memberikan harapan.

Mardi mengatakan bahwa saat itu ia memiliki modal sekitar Rp. 250 ribu saja. Ia pun harus hijrah ke Banyumas - atau sekitar 30 kilometer dari Cilacap - untuk mengerjakannya. Pasalnya, di sana ada kenalannya pemilik Olah Sentra Industri Genteng Lumbir. Di sanalah Mardi mengolah bahan mentah yakni tanah liat menjadi karya seni untuk dipasarkan. “Saya tidak dikenakan biaya khusus. Saya bayar semampu saya saja karena memang dia dasarnya ikhlas dan menolong. Saya sangat bersyukur,” katanya.

Bahan mentah berupa tanah liat siap pakai. Sedangkan untuk hiasan digunakan material tradisional natural dari Yogyakarta seperi tali, ijuk, gigi sapi, dan lain-lain. Proses produksinya terbilang sederhana. Pertama, tanah dicetak dan didiamkan selama dua hari di dalam ruangan. Selanjutnya, tanah dibentuk sesuai dengan keinginan dan diangin-angin selama satu minggu di luar ruangan. Untuk proses ini kelembaban harus stabil. Oleh karena itu, hujan adalah suatu kendala. Setelah kering, patung diamplas, dibakar dan dicat serta proses finishing.

Masih di tahun 1997, Mardi pun sudah mampu memproduksi sejumlah karya. Saat itu ia dibantu oleh empat orang pekerjanya. Caranya menjual pun tidak rumit. Ia hanya menitipkan di beberapa rumah makan di daerah wisata. ”Saat saya di Pangandaran, saya bertemu dengan tamu asing dari Australia. Itulah pesanan besar pertama saya,” katanya. Menurut Mardi, nilai uang pesanan orang Australia itu mencapai sekitar Rp. 16 juta. Untuk itu Mardi sampai mempekerjakan sekitar 16 tenaga bantuan.

Ternyata pesanan orang Australia ini tidak berhenti sampai di situ. Mardi mengatakan bahwa orang Australia ini menjadi pelanggannya sampai dua tahun. “Saya saat itu sudah bisa mempekerjakan 20 orang tenaga, membuat tempat kerja dan mengembangkan pasar sampai ke Bali yang meliputi Kuta, Gianyar, Ubud dan Tegal Alang.”

Usahanya pun terus berkembang. Mardi telah mampu memasarkan produknya di Banyumas, Pangandaran dan Bali. “Saya titipkan di rumah makan, kawasan pantai wisata, toko cinderamata dan juga cafe,” katanya.

Produksi patung Asmat Mardi Rahayu berkisar antara 2.000 sampai 3.000 buah per bulan, tergantung ukurannya.

Dari sisi harga, Mardi mengatakan bahwa ia menambahkan sekitar sepuluh persen dari biaya produksi. Harga patung karya Mardi berkisar antara Rp. 1.500,- sampai Rp. 150.000 ,- per buah. “Dalam satu bulan saya punya omset mencapai Rp. 20 juta sampai Rp. 30 juta pada kondisi normal. Tapi kalau sedang ramai omset saya bisa mencapai 50 juta rupiah,” katanya.

Usaha Mardi ini memberikan dampak positif terhadap lingkungannya. Ia menjelaskan bahwa saat ini ia mempekerjakan 30 orang yang terdiri dari pria dan wanita. Jika dilihat dari latar belakang pendidikan, para pekerjanya 25% lulusan SMA sedangkan sisanya 75% tamatan SD dan SMP. Komposisi tenaga kerjanya mayoritas (90%) adalah masyarakat disekitar tempat kerjanya sedangkan 10% adalah tenaga ahli yang didatangkan khusus dari luar Cilacap.

Untuk pekerja diberlakukan upah borongan dan harian. “Untuk yang borongan sebesar Rp. 20 ribu sampai Rp. 30 ribu per hari. Sedangkan yang harian berkisar antara Rp. 10 ribu sampai Rp. 20 ribu. Tergantung pekerjaannya,” kata Mardi.

Dalam mengelola usaha seperti ini, Mardi sempat merasakan kendala dalam hal biaya. Pada 2001, PKBL Pertamina UP IV Cilacap mendatangi rumahnya. “Saya ditawarkan pinjaman. Waktu itu saya dapat Rp. 22 juta dengan jangka waktu tiga tahun. Tapi saya bisa lunasi satu setengah tahun,” ungkap Mardi. Selanjutnya, pada 2003 ia kembali mendapatkan pinjaman Rp. 40 juta dengan jangka waktu tiga tahun.

Ternyata tidak hanya bantuan dana yang ia dapatkan. Mardi merasakan manfaat sebagai mitra binaan Pertamina dengan diberikan kesempatan untuk mengikuti pameran dan pelatihan. “Saya ikut pameran Pertamina di Jakarta dan Yogyakarta. Untuk pelatihan, saya diajak Pertamina ikut kursus manajemen di Universitas Sudirman,” ungkapnya.

Mardi mengatakan bahwa dirinya bersyukur dengan adanya PKBL yang bisa menyentuh langsung kebutuhan permodalan usaha kecil. Menurutnya, usaha kecil tersebut selama ini tidak tersentuh oleh bank. Namun demikian, Mardi berharap agar PKBL dapat lebih melihat kiprah usaha dan kebutuhan usaha daripada sekedar melihat kemampuan materiil si pengusaha. “Jangan ada diskriminasi. Seyogianya juga disesuaikan dengan porsinya,” ungkap Mardi di akhir percakapan

(adp_Feature Reportase_Diterbitkan 2005)

Tidak ada komentar: