Sabtu, 18 Juli 2009

The Lost World of Mangrove

Sebagian besar warga Jakarta tentunya tidak pernah menyangka bahwa di tengah hiruk pikuk pembangunan kota metropolitan ini terdapat sebuah suaka margasatwa yang masih menyimpan berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Berdasarkan informasi Buku Pintar, di wilayah DKI Jakarta terdapat tiga suaka margasatwa dan salah satunya adalah Suaka Margasatwa Muara Angke yang dikenal sebagai Hutan Mangrove.

Hutan Mangrove ini letaknya pun tidak banyak diketahui orang. Terpencil diantara kemegahan perumahan Pantai Indah Kapuk di utara Jakarta. Luasnya hanya sekitar 25 hektar, tidak seberapa jika dibandingkan dengan luas lapangan golf serta lahan perluasan area perumahan elit tersebut. Jika dilihat dari luar, suaka ini sepintas mirip dengan tempat peristirahatan terakhir alias taman pemakaman umum.

Penulis bersama tim survey dan dokumentasi Hupmas Pertamina serta rekan-rekan mahasiswa pencinta alam Universitas Mercubuana berkesempatan memasuki kawasan hutan yang cukup rindang tersebut. Aroma air payau yang khas pun tercium. Jalan setapak terbuat dari kayu yang tersusun rapi berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara tempat yang satu ke tempat lainnya. Jembatan kayu tersebut dibangun di atas rawa dengan mengandalkan tonggak-tonggak kayu yang ditancapkan di masing-masing sisinya. Jembatan ini cukup kuat untuk menahan beban lebih dari 100 kg. Namun demikian, kami tetap harus waspada karena tidak ada yang mengetahui secara tepat tentang daya tahan konstruksinya dibawah air. Apalagi beberapa tonggak kayu penyanggah sudah miring dan lapuk.

Kehadiran rombongan disambut baik oleh penjaga suaka. Ia menjelaskan bahwa di suaka ini terdapat hewan liar jenis primata (kera) dan burung. Kami pun dimintanya untuk berhati-hati agar tidak mengganggu kelompok kera penghuni suaka. Konon, sang “jawara” kelompok tidak suka bila dilihat atau didekati manusia. Ia pun menerangkan bahwa suaka ini memang khusus diperuntukan bagi ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove diartikan sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiri dari berbagai jenis dari suku yang berbeda tetapi mempunyai adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem ini sering juga disebut sebagai ekosistem peralihan antara daratan dan laut ataupun dengan perairan sekitar muara sungai. Ekosistem mangrove dikenal unik dan rapuh karena mudah rusak akibat dampak kegiatan manusia. Ekosistem ini merupakan tempat tinggal dari beragam jenis ikan, kepiting, udang kerang, reptil (biawak dan ular), burung dan mamalia seperti hewan primata kera ekor panjang (Macaca fascicularis).

Di Suaka Muara Angke terdapat sekitar 45 jenis burung dan tiga kelompok primata liar yang jumlahnya mencapai sekitar 250 ekor. Untuk floranya, ekosistem mangrove di suaka ini didominasi kelompok Bakau (Rhizophora spp), Api-Api (Avicenia Alba) dan Pidada (Sonneratia Caseolaris). Kondisi Suaka Margasatwa Muara Angke mayoritas ditutupi oleh eceng gondok dan gelagah, sedangkan sisanya ditumbuhi oleh pepohonan, diantaranya mangrove.

Di sisi kiri dan kanan jembatan kayu tersebut terdapat berbagai jenis tanaman rawa dan ekosistem mangrove. Hutan mangrove ini memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi ekologi hutan mangrove adalah sebagai nursery ground, spawning ground, habitat satwa liar, penahan intrusi air laut, penetralisir bahan beracun dan sebagainya. Kedua, fungsi fisik sebagai penahan abrasi/erosi, perangkap sedimen, penahan angin dan sebagainya. Ketiga, fungsi sosial ekonomi sebagai penghasil kayu bahan baku arang, kayu bakar kualitas tinggi, tiang pancang, kayu chip, wisata alam dan sebagainya. Semuanya adalah fungsi-fungsi yang tidak pernah terbayangkan oleh kebanyakan masyarakat Jakarta.

Sekarang, kondisi hutan mengrove di Jakarta cukup memprihatinkan. Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta, kuantitas dan kualitas ekosistem mangrove mengalami penurunan yang sangat drastis. Pada tahun 1980-an, DKI Jakarta memiliki hutan mangrove seluas 1.025 hektar. Namun saat ini, tahun 2004, hanya tersisa sekitar 70 hektar yang terbagi di dua wilayah yang terpisah yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke dan Taman Wisata Angke Kapuk. Ironisnya, dari 70 hektar tersebut ekosistem mangrove hanya tersisa sekitar 50% saja.

Pemandangan yang sangat kontras juga terlihat di luar area suaka margasatwa tersebut. Roda pembangunan yang sangat dinamis telah menggilas lahan yang sebelumnya merupakan kawasan hutan mangrove. Di satu sisi, terlihat suaka yang terpencil dan tidak populer. Sedangkan di sisi lain, mesin industri terlihat sibuk menanamkan tiang pancang fondasi bangunan-bangunan megah dan pembangunan lapangan golf. Sebuah pemandangan klasik dalam proses pembangunan ibukota.

Melihat kondisi yang sangat memprihatinkan ini, beberapa pihak terpanggil untuk melestarikannya. Pertamina bekerjasama dengan mahasiswa dan pihak terkait melaksanakan kegiatan peduli lingkungan dengan menanam 2.000 bibit mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni 2004 lalu. Harapannya dapat memberikan nilai tambah bagi lingkungan hidup disekitarnya dengan melestarikan ekosistem ini. Antusiasme para mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai perguruan tinggi terlihat jelas. Pada pagi itu, berkumpul sekitar 150 orang bersama-sama dengan satu tekad yakni peduli terhadap ekosistem mangrove. Kegiatan penanaman pun dilaksanakan secara gotong royong. Tidak disangka bahwa lumpur rawa tersebut memiliki kedalaman yang variatif antara 30 cm sampai satu meter. Bahkan di beberapa titik bisa lebih dalam dari itu. Teknik penanamannya pun unik. Plastik yang membungkus akar tanaman dilubangi terlebih dahulu. Selanjutnya bibit diikatkan menggantung pada sebatang bambu yang ditancapkan ke permukaan lumpur.

Kegiatan penanaman bibit mangrove ini bukan yang pertama bagi Pertamina karena sebelumnya telah dilaksanakan disekitar wilayah operasi Pertamina. Sebelumnya, penanaman dilaksanakan di UP IV Cilacap dan UP VI Balongan. Selanjutnya akan dilaksanakan di UP II Dumai dan unit lainnya. Aksi tersebut sebagai wujud kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup. Namun demikian hal ini tidak menjamin kelangsungan hidup ekosistem mangrove dapat bertahan lama. Banyak pihak yang harus dilibatkan dalam proses konservasi alam ini. Tindakan konkrit yang berkelanjutan harus tetap dilaksanakan demi keseimbangan kehidupan lingkungan.

Termasuk didalam tindakan konkrit tersebut adalah komitmen penegakan hukum terhadap pelaku perusak lingkungan yang seyogianya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pada April lalu, penegakkan hukum telah dilakukan oleh jajaran Polri. Media massa memberitakan bahwa Kepolisian Daerah Metro Jaya telah (memutuskan) menahan tiga tersangka kasus penebangan bakau di jalan tol Prof. Sedyatmo, Jakarta Utara. Wadir Kriminal Khusus Kombes Agung Sabar Santoso yang menangani kasus ini membenarkan penahanan pelaku tersebut. Kasus ini berawal saat terjadi penebangan hutan bakau di Jl. Prof. Sedyatmo Km 23, Jakarta Utara. Unit Satuan Sumber Daya Lingkungan Polda Metro Jaya mulai menangani kasus ini pada 14 April 2004. Ketua Wahana Lingkungan Hidup DKI Jakarta Slamet Daroyni mendukung tindakan tegas aparat tersebut. Ia mengatakan bahwa bagaimanapun mereka telah melakukan tindak kejahatan lingkungan. Hal ini merupakan shock therapy bagi semua pihak yang melakukan kejahatan lingkungan di DKI Jakarta. Ia juga menambahkan agar aparat penegak hukum mengusut tuntas siapa aktor yang berada di belakangnya.

Peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai angin segar terhadap upaya pelestarian lingkungan. Kini tinggal bagaimana kita menyikapinya dan berperan dalam mendukung keberhasilannya.

(adp_Feature Reportase_Diterbitkan 2004)

Tidak ada komentar: