Masih teringat cerita orang tua kita di masa lalu, saat mereka duduk di bangku sekolah. Bahkan mungkin tidak semua duduk di atas bangku karena kondisi fasilitas pendidikan di masa lalu cukup memprihatinkan.
Cerita berlanjut, saat guru memberikan rumus dalam ilmu berhitung, tak jarang dari orang tua kita yang harus bisa menghapal dengan cepat karena tidak memiliki sabak dan grip yang pada waktu itu merupakan alat tulis mereka. Batu sabak dan grip menjadi barang mewah kala itu.
Belum lagi masalah penerangan lampu yang saat itu sangat minim. Kondisi seperti ini mungkin bisa mematahkan semangat seorang anak yang ingin bersekolah. Namun tidak demikian yang dilakukan para pendahulu kita, semangat belajar mereka tetap membara, memberi cahaya untuk keluar dari kegelapan.
Suasana memprihatinkan itu pun berangsur membaik. Kondisi fasilitas pendidikan di negeri ini meningkat kualitasnya dari zaman ke zaman. Sabak dan grip sudah digantikan dengan buku tulis dan pena. Tanah tempat berpijak pun telah ditutupi semen dan lantai. Cerita duduk di atas tikar kumal pun sudah digantikan dengan kursi dan meja yang kokoh. Cahaya bukan lagi menjadi persoalan, kualitas penerangan di sejumlah sekolah kini sudah sangat memadai.
Orang tua kini tidak perlu sulit mencarikan sekolah untuk putra putrinya. Apalagi jika mereka tinggal di dekat kota besar. Seperti di Jakarta dan sekitarnya misalnya, bervariasi fasilitas pendidikan yang ditawarkan para pengelola sekolah baik negeri maupun swasta. Bahkan di antara mereka juga bersaing mempromosikan afiliasi mereka dengan salah satu institusi pendidikan di luar negeri. Kita tinggal menyesuaikan kemampuan kocek saja. Semua terlihat begitu mudah, konsumen pendidikan di kota besar seperti dimanjakan dengan segala fasilitas yang tersedia.
Bagi yang memiliki dana lebih, mereka cenderung mengirimkan putra-putrinya ke sekolah yang bonavide. Jelas, fasilitas gedung sekolah yang mentereng dan segudang fasilitas kelas dunia lainnya bisa didapatkan dengan mudah. Beda halnya dengan kelompok yang biasa-biasa saja, tentu kebanyakan dari mereka mencari sekolah untuk anaknya yang sesuai dengan dana yang ada dan standar yang biasa-biasa saja. Dan bagi kelompok yang kurang beruntung, terpaksa mereka pasrah dengan kondisi yang bisa mereka terima, kondisi sekolah yang ala kadarnya. Memang bukan rahasia lagi, jika orang tua banyak mengeluhkan biaya pendidikan yang sangat tinggi sekarang ini.
Kondisi fasilitas pendidikan yang memadai tentunya akan mempengaruhi siswa saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Minimal secara psikologis, mereka akan terpengaruh. Jika mereka menemukan suasana sekolah yang menyenangkan, tentu mereka akan berangkat ke sekolah dengan senyuman. Tetapi beda halnya jika mereka menemukan suasana sekolah yang memprihatinkan, mungkin mereka memilih untuk pergi bermain bola di tanah lapang daripada belajar dalam suasana sumpek dan gelap.
Mungkin bagi kebanyakan penduduk ibukota, suasana fasilitas pendidikan yang memprihatinkan sudah menjadi barang langka.
Tapi tidak bagi saudara kita di luar Jakarta dan Jawa. Tidak usah terlalu jauh melihat, kita bergeser sedikit ke arah Indramayu. Di sana dapat ditemukan Sekolah Dasar Negeri di wilayah Lemah Mekar yang didirikan tahun 1984. Kondisi bangunannya tidak seperti kebanyakan sekolah di kota besar. Bangunan sekolah itu berdiri persis di samping rawa. Becek, banyak nyamuk, dan tidak memenuhi syarat sanitasi lingkungan sekolah. Belum lagi kondisi bangunannya yang cukup menyedihkan. Bahkan orang tua pun merasa enggan menyekolahkan putra-putri mereka di sana. ”Takut sekolahnya roboh,” komentar para orang tua murid. Belum lagi para guru yang saat mengajar harus selalu waspada melihat ke arah pintu. Menurut mereka, seringkali ular naik dari rawa dan merayap memasuki ruang kelas.””Kami jadi takut,” kata mereka. Ditambah lagi ancaman gigitan nyamuk yang bisa berakibat fatal bagi siswa dan guru. ”Pada tahun 2000 dapat dikatakan sekolah ini tidak layak pakai,” tegas Kepala Sekolah Nuriyati.
Kondisi ini yang kemudian pada 2004 mengundang Pertamina untuk mengulurkan tangan sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan di sekitar daerah operasi. Tidak sedikit biaya yang dibutuhkan untuk merenovasi sekolah ini. Namun semua harus dilakukan demi kepentingan masa depan anak-anak penerus bangsa. Nuriyati menjelaskan bahwa saat itu Pertamina membantu pembangunan sekolah yang terdiri dari enam kelas dan satu kantor guru, penimbunan rawa di halaman sekolah, perbaikan fasilitas toilet, Unit Kesehatan Sekolah, dan tempat wudhu. Setelah semua selesai dibangun dalam waktu sekitar dua sampai tiga bulan, ada yang unik di sekolah ini. ”Kami terapkan budaya bersih di sekolah ini. Sebelum memasuki ruang kelas, mereka diminta untuk melepas sepatu,” kata Nuriyati.
Sekarang kita bergeser jauh ke Klamono, sebuah wilayah pedalaman di Kepala Burung Provinsi Papua. Jalan yang ditempuh dari kota Sorong sekitar 48 kilometer. Jangan dibayangkan kualitas jalan sama dengan aspal hotmix di jalan lintas provinsi. Jalan tanah dan batu akan menyambut anda saat memasuki kawasan tersebut. Dikala hujan maka otomatis beberapa bagian jalan akan berubah menjadi kubangan lumpur. Oleh karena itu, kurang cocok kalau perjalanan ini kita hitung dengan patokan waktu. Cukup lumayan bagi mereka yang suka petualangan.
Di wilayah Klamono, terdapat sebuah Sekolah Dasar Inpres 55. Chris Cornelis Mayor bertindak selaku kepala sekolah di sana. Wilayahnya tidak jauh dari salah satu daerah operasi hulu Pertamina.
Kondisi ekonomi penduduk setempat tidak seberuntung saudara kita di Indramayu. Banyak dari orang tua kehabisan dana untuk pendidikan anak mereka. Di sinilah Pertamina, dalam jaring tanggung jawab sosial perusahaan, mengulurkan tangan kepada mereka. Chris Cornelis Mayor menegaskan bahwa di sekolahnya sekitar 20 orang siswa menerima beasiswa Pertamina.
”Mereka terbagi dari kelas satu sampai kelas enam,” ujarnya. Chris menjelaskan bahwa pemberian beasiswa itu berdasarkan kemampuan ekonomi mereka. Menurut Chris, dari total 215 siswa hanya sebanyak 68 orang saja yang orangtuanya tergolong mampu. ”Sisanya orang tua mereka tergolong tidak mampu,” ujarnya.
Sama halnya seperti Kepala Sekolah SD Lemah Mekar Indramayu Nuriyati, Chris juga menyambut positif bantuan yang diberikan Pertamina. Selain beasiswa, papar Chris, Pertamina juga memberikan bantuan fasilitas olahraga, buku dan fasilitas bangunan sekolah. Masih menurut Chris, bantuan yang diberikan Pertamina sangat terasa manfaatnya terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, anak yatim piatu dan siswa yang nyaris drop out dari sekolah karena masalah biaya.
Chris menilai, bantuan beasiswa yang diterima siswanya membantu peningkatan prestasi belajar mereka. Ia berharap bantuan terhadap dunia pendidikan bisa ditingkatkan di masa mendatang.
Ironis memang saat kita di kota besar bergelimang dengan fasilitas pendidikan kelas wahid, sementara saudara kita di daerah lain masih melihat pendidikan yang layak sebagai barang langka. Kepedulian terhadap dunia pendidikan yang dilakukan oleh Pertamina tersebar di seluruh daerah operasi perusahaan. Cerita ini hanya sebagian dari cerita yang berserakan dari Sabang sampai Merauke.
Jangan biarkan pelita itu sirna.
(adp_Feature Reportase)
Sabtu, 18 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar