Sabtu, 18 Juli 2009

Rebana

Budaya Melayu tampaknya tak terpisahkan dari kehadiran alat musik tabuh rebana. Kehadirannya kerap mengisi kemeriahan dalam setiap perhelatan akbar yang sarat dengan nuansa Islami, misalnya hari-hari raya keagamaan, pernikahan, khitanan dan acara lainnya. Bahkan, rebana telah menjadi suatu cabang seni budaya melayu yang sering diperlombakan.

Di dunia pendidikan, bagi siswa yang bersekolah di institusi pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam, kesenian rebana biasanya sudah masuk ke dalam salah satu kurikulum atau kegiatan ekstra para santrinya.

Rebana berasal dari perkataan Sansekerta yaitu “reba”. Rebana terdiri daripada baluh yang diperbuat daripada kayu yang memiliki lubang yang besar. Satu daripada bahagian lubang tersebut ditutup dengan kulit.

Rebana biasanya dimainkan oleh sekelompok musisi yang terdiri dari empat hingga delapan orang yang memainkan irama yang harmonis. Pada sebagian daerah, para penabuh rebana ada juga yang menggunakan tongkat rotan kecil sebagai alat tabuhnya, dengan tujuan untuk mendapatkan suara yang lebih perkusif.

Keberadaan rebana di antara masyarakat Ibukota hingga saat ini masih tetap eksis. Jika anda sempat mengunjungi beberapa daerah yang kental dengan nuansa Melayu dan Islam di Jakarta, salah satu contohnya wilayah Tebet, Kampung Melayu, suara musik ini sudah tidak asing lagi. Para remaja masjid kerap melakukan latihan rebana sebagai persiapan untuk mengisi acara-acara keagamaan di kampungnya.

Kehadiran rebana di tengah masyarakat dan menjadi catatan dalam sejarah Islam sudah cukup lama. Di masa lalu, rebana dan gendang kerap kali digunakan untuk membangkitkan semangat perjuangan para pejuang Islam.

Rebana bentuknya menyerupai tamborin, hanya saja jenis kulit yang digunakan lebih tebal. Secara fisik, rebana tidak jauh berbeda dengan instrumen perkusi lainnya yang sejenis seperti gendang. Bahan bakunya terdiri dari kayu mangga dan kulit kambing.

Prosesnya tampak sederhana, namun diperlukan keahlian yang luar biasa. Pembuatan diawali dengan memotong kayu pohon mangga gelondongan kira-kira setebal 10 cm. Selanjutnya, kayu tersebut dibubut dan dibentuk menjadi mangkuk berlubang ganda. Masing-masing rebana memiliki ukuran diameter yang berbeda. Dimulai dari ukuran 6 inchi untuk suara tinggi hingga 14 inchi yang dapat menghasilkan suara yang lebih rendah.

Kayu-kayu tersebut selanjutnya disimpan di tempat yang kering untuk menunggu proses berikutnya. Jika dikerjakan oleh satu orang, dari proses pembubutan ini bisa dihasilkan sekitar 25 sampai 30 kayu rebana perhari. Subroto (55), pembuat kayu rebana, menjelaskan bahwa pekerjaan memproduksi kayu ini biasanya bersifat borongan. Ongkos pembuatannya berada pada kisaran Rp 1.750,- per buahnya.

Untuk kulitnya digunakan bahan dasar kulit kambing. Kulit ini dibeli dari pedagang kulit hewan potong yang sudah menjadi langganan mereka. Kulit ini selanjutnya dicuci dan direndam dalam air kapur. Tujuannya supaya bulu-bulu kambing mudah rontok. Proses ini memakan waktu sekitar dua sampai tiga hari.

Setelah melalui tahap tersebut, bulu yang berada pada kulit kambing dikerok hingga bersih. Kemudian, kulit dicuci kembali dan dijemur hinnga kering. Tak jauh berbeda dengan proses membuat baju, kulit tersebut selanjutnya diberi pola dan dipotong sesuai keperluan dan dipasang pada potongan mangkuk kayu mangga yang sudah disiapkan. Biasanya, untuk satu lembar kulit kambing berukuran normal bisa digunakan untuk membuat 4 buah rebana ukuran 12 inchi.

Pada proses pemasangan ini dilakukan penyetelan nada rebana. Yesri (31), seorang pengerajin rebana di Medan mengatakan bahwa untuk membuat alat musik ini diperlukan jam terbang yang tinggi. “Terutama bagian stel nada,” katanya.

Para pengrajin rebana yang bergabung dengan UD Rebana milik Said Aldi Al Idrus adalah orang-orang yang memiliki skill cukup lumayan. Untuk melakukan stel nada rebana, mereka mengandalkan feeling yang lumayan tajam. Caranya, kata Yesri, mereka mengukur regangan kulit dengan menekan kulit tersebut menggunakan ujung jari. Apabila regangannya sudah cukup maka nada yang diinginkan sudah didapat. “Ilmu ini didapat dari Paman Said dari Malaysia yang sudah ahli dibidang ini,” katanya. Terakhir dilakukan proses finishing.

Dalam satu hari mereka mampu memproduksi enam puluh sampai delapan puluh buah per harinya. Padahal pekerjanya hanya sekitar delapan orang. “Itu sudah sampai produk jadi dan siap pakai, lho,” jelasnya.

UD Rebana berlokasi di daerah Perumnas Mandala, Percut Saituan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Usaha pembuatan rebana ini sudah berjalan cukup lama yakni lima belas tahun.

Yesri menceritakan bahwa awalnya usaha ini dirintis oleh Said (pemilik) dari tingkat distribusi. Selanjutnya, sekitar dua sampai tiga tahun mulai berkembang ke tingkat selanjutnya yakni pembuatan rebana dalam jumlah besar.

Selain rebana, UD Rebana juga memproduksi Ronggeng Melayu, alat musik sejenis rebana dalam ukuran yang lebih besar. Ukurannya bisa dua sampai tiga kali rebana biasa. Jika diperhatikan, bentuk fisiknya justru lebih mendekati gendang daripada rebana. Untuk pembuatan Ronggeng ini dipekerjakan tujuh orang pengerajin dan mampu menghasilkan 10 sampai 12 buah per harinya. Ronggeng dibuat dengan menggunakan kayu pohon kelapa sebagai bahan dasarnya.

Dalam hal pemasaran, rebana produk dalam negeri ini sudah dapat dikatakan cukup membanggakan. Di Sumatera Utara sendiri mereka memasarkannya di wilayah Pakam, Perbaungan, dan Pantai Cermin. “Di Pantai Cermin kami punya toko,” kata Yesri.

Selain memasok pasar domestik, UD Rebana setiap minggu mengirimkan sebagian besar produknya ke Kuala Lumpur, Malaysia. Jumlahnya tergantung pesanan dari konsumen. Selain itu, mereka juga memasarkan produk ini ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam dan Thailand.

Omset yang bisa didapat dari usaha ini lumayan besar. Rita (28) istri dari pemilik UD Rebana Said Aldi Al Idrus menjelaskan bahwa pada saat-saat normal, omset mereka bisa mencapai sekitar Rp. 100 juta per bulan. Bahkan yang lebih luar biasa, menurutnya, di saat ramai bisa meningkat tajam hingga Rp. 200 juta sampai Rp. 250 juta per bulan. Tetapi Rita juga menambahkan bahwa tidak tertutup kemungkinan bagi usahanya untuk hanya mengantongi omset sekitar Rp. 10 juta sampai Rp. 15 juta per bulan di masa-masa sepi pesanan.

Berdasarkan pengalaman, pesanan ramai biasanya pada saat musim ujian sekolah di Malaysia atau pada musim acara keagamaan seperti perayaan Hari Raya Idul Fitri, Maulid Nabi dan lain-lain. “Kadang ada kalanya orang memesan rebana untuk souvenir saja,” katanya.

Untuk membantu perkembangan usahanya, Rita mendapatkan pinjaman lunak dari PKBL Pertamina UPms I Medan sebesar 50 juta rupiah. Pinjaman ini baru berjalan sekitar tiga bulan sejak awal tahun 2005 dengan jangka waktu tiga tahun.

Rita mengatakan bahwa perhatian Pertamina kepada kemajuan usahanya ini sangat berarti baginya karena dapat dimanfaatkan untuk membantu mengembangkan usahanya di masa mendatang.

Dari usaha ini, Said sang pemilik, telah beberapa kali dianugerahi sebagai Pemuda Pelopor Nasional tingkat Provinsi Sumatera Utara. Bahkan pada 2004 yang lalu dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor tingkat Nasional yang diserahkan oleh Presiden RI.

(adp_Feature Reportase_Diterbitkan 2005)

Tidak ada komentar: