Sabtu, 18 Juli 2009

Trikomsa

Usaha yang dirintis dari industri lilin lampu, Trikomsa berusaha untuk terus tumbuh dan berkembang sekaligus memberi manfaat bagi lingkungannya.

Sugarwo Nugroho (38) pria Jawa-Banjar ini mengawali bisnis lilin lampu sekitar 2 tahun yang lalu. Dengan merangkak dan penuh perjuangan, usaha ini dijalankannya dibawah bendera CV Trikomsa Indocandle.

Diawali dengan dua buah mesin dan enam orang pekerja, Sugarwo menggeluti usaha pembuatan lilin ini. Trikomsa mengolah lilin sebanyak 5 ton per bulan yang dibelinya dari Pertamina Unit Pemasaran VI Balikpapan. Seiring dengan perkembangannya, pasokan pun bertambah hingga kini mencapai 10 ton per bulannya.

Sugarwo bercerita bahwa untuk pembelian lilin tersebut, ia harus memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan, diantaranya harus berbadan hukum atau berbentuk CV, SIUP, dan lain-lain. “Saya ajukan CV sebagai pemakai langsung dan disetujui,” katanya.

Alumnus IAIN Sunan Kalijaga ini mengatakan bahwa untuk menjalankan bisnis ini tidak mudah. Ia memerlukan pasokan modal dari pihak luar. Oleh karena itu, katanya, ia mengajukan permohonan untuk menjadi mitra binaan melalui PKBL DOH Kalimantan.
“Kebetulan saya sering bertemu dengan rekan PKBL DOH Kalimantan di pengajian,” ujarnya. Harapannya pun terkabul, dana sebesar Rp. 75 juta dikucurkan sebagai bantuan modal dengan jangka waktu tiga tahun.

Untuk pemasaran produknya, Sugarwo tidak terlalu khawatir dan menganggap produsen lain sebagai mitra, bukan sebagai pesaing. Ia mengatakan bahwa Trikomsa punya pasar sendiri. Untuk memperkuat armada penjualannya, Sugarwo membina hubungan dengan lima mitra penjualannya yang tentunya sudah memiliki pasarnya masing-masing.

”Saya memasarkan produk ini ke empat provinsi yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi,” katanya.

Menghadapi permintaan konsumen yang begitu besar Sugarwo mengakui bahwa dirinya sempat kewalahan. ”Contohnya, Sulawesi itu mintanya di atas sepuluh ton, untuk itu saya perlu perkembangan di sisi produksi, fasilitas dana dan lain-lain,” paparnya. Belum lagi melayani permintaan konsumen di daerah lain. Ia berharap, PKBL DOH Kalimantan dapat mempertimbangkan harapannya ini demi perkembangan usahanya ke depan.

Bicara soal bahan baku, Sugarwo mengatakan bahwa satu ton lilin bisa menghasilkan sekitar 160 dos lilin lampu yang masing-masing berisi 35 batang. Selanjutnya, oleh agen, lilin itu dibawa untuk dipasarkan. ”Biasanya lilin diambil oleh agen. Bisa 500 sampai 1500 dos,” katanya.

Namun demikian sering kali, ungkap Sugarwo, permintaan mencapai 1600 dos per bulan. Ia bersyukur bahwa lilin produksinya tidak pernah menumpuk di gudang, alias selalu habis terjual. Ia menunjuk ke arah tumpukan lilin lampu dan mengatakan bahwa semua sudah ada yang beli. ”Jadi begitu selesai langsung diangkut ke agen,” tambahnya.

Hingga saat ini, Sugarwo sudah mempekerjakan sembilan orang tenaga dan memiliki delapan buah mesin di industri lilin lampu miliknya. Sugarwo menjelaskan bahwa dirinya berharap dengan keberadaan industri ini dapat membuka lapangan pekerjaan bagi para tetangga dan masyarakat sekitar. Namun demikian, katanya, karena usaha ini juga dijalankan secara profesional maka untuk perekrutan ia juga mengutamakan individu yang betul-betul mampu untuk bekerja dengan baik.

Untuk membayar pekerjanya, Sugarwo mengatakan bahwa perhitungannya bersifat borongan. Untuk memproduksi satu ton lilin ia membayar gaji karyawan pada kisaran Rp. 75.000,- sampai Rp. 100.000,-. Di luar itu, ia bisa mengantungi keuntungan sekitar Rp. 8 800.000,- per ton.

Tumbuh dan berkembang
Keberhasilan Sugarwo dalam mengelola usaha industri lilin ini memacu dirinya untuk mengembangkan sayap usaha. ”Dari sini saya berpikir untuk pemberdayaan masyarakat,” ujarnya.

Selanjutnya, Trikomsa pun berkembang dengan membuka industri mebel multipleks dan depot ayam bakar. Selain itu, di bidang pendidikan dan pelatihan, Sugarwo juga membuka Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Trikomsa Indoschool pada 16 Oktober 2004 dengan visi menjadi lembaga pemberdayaan masyarakat, pusat diklat kerja dan pengembangan kreativitas generasi muda yang profesional dan terpercaya.

Sugarwo menegaskan bahwa tuntutan perkembangan zaman telah mendorongnya untuk ikut aktif dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing di pasar global. Berdasarkan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional, LPM ini berupaya untuk mengembangkan kurikulum pendidikan berbasis kompetensi dan mengarahkan metode pembelajaran pada keterampilan yang berbasis kebutuhan masyarakat luas atau pendidikan yang berkelanjutan. Untuk itu, melalui LPM ini, Sugarwo menargetkan sebanyak 500 orang yang bisa diberdayakan.

Program kursus yang ditawarkan beranekaragam, meliputi baca tulis Al Qur’an, bahasa Arab, bahasa Inggris, meubel multiplex, kaligrafi, radiator dan dinamo, sablon, jahit dan bordir, las karbit dan listrik, elektronik, fotografi, jurnalistik, presenter dan MC, bimbingan belajar, montir sepeda motor, dan kursus komputer. Pusat pendidikan ini bertempat di Jl. Klamono-Gatu No. 8 RT 076 Balikpapan. ”Tempat saya sewa dari koperasi Pertamina,” katanya.

Untuk kaum duafa, kata Sugarwo, Trikomsa menyediakan sejumlah program misalnya ada program jahit dan bordir untuk anak putus sekolah dan keluarga tidak mampu. Saat ditanya mengenai biaya, Sugarwo menjelaskan bahwa untuk hal tersebut pihaknya bekerjasama dengan pihak ketiga yang peduli. ”Kalau tidak ada, kami danai sendiri dari usaha-usaha yang lain,” ungkapnya.

Selain usaha di bidang pendidikan dan pelatihan, Trikomsa juga membuka usaha meubel multiplex. Usaha ini baru mereka mulai. Mereka mendatangkan bahan baku dari Jawa. Menurut Sugarwo, Trikomsa akan memasarkan produknya di wilayah Kalimantan Timur. Sugarwo mengatakan bahwa sebenarnya peluang masih terbuka lebar tetapi usahanya terkendala masalah dana. Oleh karena itu, ia mengharapkan bantuan dana untuk pengembangan selanjutnya.
(adp_Feature Reportase_Diterbitkan 2005)

Tidak ada komentar: